Jumat, 25 Juni 2021

Suara Saksi Bisu (Cerpen)

 

Tidak masalah bagiku saat dinginnya penghujan menjadikan badanku sebeku es batu, juga saat kemarau membaluri tubuhku dengan lebih banyak debu. Bukankah debu dapat menyucikan? Aku tau itu, karena dulu, tuanku sering melakukannya. Saat kulit keriputnya tidak lagi kuasa menyentuh air.

Itu dulu. Sekarang, debu semakin menebal, aku semakin pudar, juga karat yang mulai menggerogoti sebagian besar badan besiku. Sementara badan kayuku, plitur yang melapisinya sudah mengelupas dimana-mana. Tidak lagi ada yang menyentuhku. Tuan-tuan muda masih sangat baik kepadaku, tidak menjualku ke tempat barang bekas. Tapi, kini aku terasing di sudut ruangan besar ini. Tak lagi dapat menyapa mentari pagi dan bermandikan cahayanya yang menghangatkan.

“Jangan dipindah kemana-mana mesin jahit itu, letakkan saja di sana, itu kesayangan ibu” ucap tuan muda pertamaku, dengan suara parau. Sepeninggal tuanku.

Sejak awal, aku dan teman-temanku di belahan dunia telah menyadari cepatnya perkembangan teknologi, cepat atau lambat, alat-alat manual akan digantikan dengan yang otomatis. Juga dengan bentuk yang lebih elegan dan dinamis. Aku senantiasa menyiapkan dada selapang-lapangnya, bila suatu saat harus dideportasi dari tempat hangat ini, dan digantikan dengan mesin jahit yang lebih canggih. Toh, demi kebaikan tuanku, agar ia lebih mudah untuk berkarya.

Lapangnya dadaku melebihi lapangnya lapangan bola di ujung jalan yang aku lalui saat pertama kali datang, aku melihatnya langsung dari atas pick up tua yang mengangkutku, sangat luas. Juga melebihi luasnya tujuh samudra, yang hanya 361,1 juta km2. Aku mengetahuinya saat nguping tuan muda kecil belajar ilmu alam. Walaupun aku hanya memiliki satu telinga yang juga berfungsi sebagai penggerak bagian lain tubuhku, fungsi untuk mendengar masih sangat baik hingga sekarang.

Yang menjadikan menyusutnya kelapangan hatiku tidak lain karena semakin banyak waktu yang aku lalui tanpa tuanku, mengenang semua kehangatan bersamanya, menyaksikan realitas perubahan kehidupan penghuni rumah yang begitu cepat, bagaikan terkepung cuaca ekstrim, sangat dingin, tak ada yang mempedulikan keberadaanku lagi.

Ah.. andaikan bisa berlari, aku memilih pergi dari sudut lembab ini. Tapi bila ku kenang lagi segala tentang tuanku, aku tetap ingin bertahan, biarlah tubuhku lebur bersama waktu.

Saat aku datang, dia adalah sosok wanita muda, 19 tahun dengan dua putra menggemaskan, masing-masing delapan dan lima tahun. Dinikahkan oleh orang tuanya yang kaya raya dengan pemuda kaya raya pula, sama-sama tuan tanah, saat usianya masih 12 tahun. Tahun enam puluhan, dimana perempuan biasa dinikahkan umur sekian.

Sebagaimana pepatah lama, harta tidak menjamin kebahagiaan, itulah yang dialami tuanku yang masih muda. Suaminya menikah lagi, menikah lagi, menikah lagi. Tanpa menceraikannya. Beruntunglah dia sosok yang rajin dan tangguh sejak belia. Saat masih bersekolah di SR, ia mengayuh sepeda jengki birunya sejauh 20 km setiap hari sepulang sekolah, total pulang pergi 40 km, guna belajar menjahit ke pelosok desa di kecamatan sebelah. Aku tau cerita ini dari teman-temanku yang menghuni tempat kursus itu.

Dan ketahuilah, saat suaminya, Si Kumis Tebal pergi pada suatu hari dan tak pernah kembali, ia menjual kalung emas permata hijau tua –harta berharga- peninggalan ibunya untuk membeliku. Sisa uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tuanku bersemangat membuka jasa menjahit. Lambat laun ia semakin terkenal karena tidak pernah mengecewakan, baik kualitas jahitannya maupun ketepatan waktunya.

Itulah yang memotivasiku untuk terus bergerak dan tidak sakit-sakitan. Sebisa mungkin aku tetap berusaha menemaninya, memastikan anggota tubuhku baik-baik saja. Sering tuanku memujiku, katanya aku mesin jahit yang hebat, tidak pernah rusak. Aku semakin bersemangat agar awet muda dan dapat terus hidup bersamanya.

Tapi, taukah kau, Tuanku?

Justru semangat kakimu saat menekan injakan pedal persegi agar aku bergerak adalah charger utama yang menyalurkan kehebatan itu. Aku harus terus bergerak agar kau dan kedua anakmu –dua tuan muda- bisa makan dari upah yang pelanggan berikan, juga untuk biaya sekolah kedua tuan muda. Sehingga kau tidak perlu bersusah-susah merawatku. Aku tau diri, karena bila aku sakit, kau harus minta bantuan tukang untuk pengobatan dan memperbaikiku, hal itu memerlukan ongkos. Andai saja lelaki berkumis tebal itu tetap di sisimu, mungkin aku bisa bermanja-manja, barang satu atau dua hari untuk tidak bergerak, dan kau bisa beristirahat. Dia bisa mengobatiku dengan gratis.

Aku tidak setega itu untuk melakukannya padamu. Bila tuanku saja tangguh menaggung beban hidup, maka aku berjanji akan menjadi mesih jahit yang lebih tangguh.

Aku ingat sekali kejadian yang membuatku ingin memutuskan tali penghubung telingaku dengan roda besar dekat injakan pengayuh agar aku tidak dapat bergerak. Tapi aku tidak boleh egois, hal itu akan lebih menyusahkan tuanku untuk membeli tali pengganti yang hanya dijual di kota, jaraknya hampir 50 km, 100 km jarak untuk pulang dan pergi. Saat itu, aku berusaha melepaskan segala energi negatif yang menyelimutiku.

Si Kumis Tebal datang pagi-pagi sekali dengan wajah datar dan pakaian lusuh. Dan lihatlah, dia membawa wanita jelita berpostur mungil. Tingginya tidak lebih dari bawah telinga tuanku yang semampai, juga hanya sepundak Si Kumis.

Aku melihat tuanku tertegun, lalu segera menguasai diri dengan menyalami keduanya, membuatkan kopi dengan sisa-sisa gula yang menempel pada dinding toples kusam, memasak nasi dengan bayam kuah bening yang dipetik dari halaman belakang, ditambah sambal terasi untuk sarapan keduanya, kemudian mempersilahkan Si Jelita beristirahat di lincak ruang tengah. Lincak satu-satunya tempat tuanku berkumpul dengan kedua tuan mudaku. Sementara Si Kumis Tebal, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku malas memandangnya. Lelaki tidak tau diri. Tidak taukah dia bahwa sebenarnya kelakuannya membuat dada tuanku sesak? Andaikan mereka semua dapat mendengarku, rumah ini telah penuh umpatanku kepadanya sejak ujung kumisnya tampak di mataku.

Barulah aku terdiam, saat tuanku menarik tangan Si Jelita dan merentangkan meteran untuk mengukur tubuhnya. Ya Tuhan, tuanku hendak membuatkan dia baju. Dikeluarkannya kain sutera hijau muda pemberian adik semata wayangnya yang saat itu telah sukses menjadi pegawai negeri, Kepala Sekolah Dasar di kota. Gantian aku yang tertegun. Akupun sadar, kalau tuanku senantiasa bersabar untuk membahagiakan orang lain, bahkan yang telah menyakitinya, kenapa aku tidak meniru dirinya? Hatinya sangat jernih, sebening embun. Aku berhenti mengumpat dan tidak pernah lagi melakukannya hingga detik ini.

“Ini untuk baju gantimu, maaf tidak bisa memberimu lebih, hanya ini yang aku miliki, terimalah” Tuanku menyerahkan kresek hitam, berisikan kebaya kain sutera jahitannya, pada malam hari saat Si Jelita dan Kumis Tebal hendak meninggalkan rumah. Oh Tuhan, betapa bening hatinya.

Aku melihat Si Jelita tersenyum lalu merengkuh tuanku, air bening menetes dari ujung matanya, “Terima kasih, Mbak”

Sementara Si Kumis Tebal menunggu dan mematung di ujung halaman, hanya memperhatikan siluet kedua wanitanya dari cahaya lampu teplok dalam rumah, tanpa kata.

“Hati-hati” Tuanku berucap lirih. Kedua tamunya berlalu, menghilang ditelan jalanan kampung yang semakin jauh semakin gelap.

Kembali tuanku menjalani hari-harinya seperti biasa. membersihkan rumah, termasuk membersihkanku, marawat kedua tuan mudaku yang kini semakin tumbuh dewasa dan tampan, juga menjahit aneka pakaian bersamaku. Bahkan saat itu, sering kami menerima pesanan seragam sekolah dan seragam guru. Senyum tuanku semakin lebar, tak tampak bahwa di hatinya ada luka yang menganga.

Kalian tau? Hal-hal yang membuatku semakin tampak awet muda –selain perawatan oleh tuanku- sehingga tetap kinclong walau telah puluhan tahun bersamanya? adalah pengaruh positif dari kebaikan tuanku. Ia sering membuat baju-baju panjang lengkap dengan selendang panjang untuk para kerabat, juga untuk kedua menantunya, gratis. Tuanku juga sangat kreatif membuat aneka kombinasi baju-baju lucu untuk anak-anak dari sisa kain para pelanggan, yang diberikan kepadanya dengan sukarela. Kemudian hasilnya diberikan kepada para tetangga yang senasib dengannya, di bawah garis sejahtera. Juga tak segan ia buatkan seragam sekolah untuk para anak tetangga itu. Bila sedang sepi garapan, ia akan membuat keset, sprei, sarung bantal, atau apapun yang membuat kain perca lebih bermanfaat.

Saat cucu pertamanya lahir, semakin semangat ia membuatkan baju-baju dan kerudung anak dengan model yang dicontohnya dari majalah-majalah bekas. Wajahnya semakin cerah, senandungnya juga semakin beragam, dari lagu Rayuan Pulau Kelapa hingga Elegi Esok Pagi-nya Ebiet G. Ade. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, kalau akhirnya aku akan merasakan kebekuan di sudut ruangan ini. Tak pernah seharipun tidak ia lalui bersamaku.

Aku juga menjadi saksi bisu kembalinya cinta Si Kumis Tebal kepada tuanku. Oh Tuhan, benar memang, kesabaran mampu meratakan gunung-gunung, juga mampu melunakkan hati sekeras batu. Rumah ini pun kembali dihuni pasangan yang telah terpisah 15 tahun. Hangatnya melebihi cahaya mentari pagi yang selama ini menyapaku di balik jendela. Aku senang, tuanku kembali menerimanya tanpa syarat. Memaafkan begitu saja seluruh khilafnya. Aku semakin yakin, hatinya memang sebening embun.

“Aku sudah mengerti arti cinta sejati, saat seseorang benar-benar merelakan dirinya untuk orang lain. Tak kutemukan yang seperti dirimu. Aku menyesal. Maafkan aku dan terimalah aku kembali” Ucap Si Kumis Tebal saat kedatangannya pada suatu malam.

Enam tahun selanjutnya aku banar-benar bekerja dengan hati lapang. Rumah mungil tidak lagi suram, setelah Tuan Kumis Tebal –aku mulai menghormatinya dengan panggilan tuan- merenovasi rumah dengan jendela-jendela lebar, menaruhku pada salah satu sisinya agar tuanku tidak kesulitan saat bekerja. Rumah diperluas dengan tembok kokoh, bukan lagi anyaman bambu. Para tuan muda memutuskan pergi untuk mengukir kisah hidup keluarga kecil mereka sendiri. Kehidupan berjalan dengan indahnya, penuh bunga-bunga.

Pada tahun ketujuh dari tahun penuh bunga itu, tuanku terbaring lemah. Aku mendengar dari dokter yang memeriksanya bahwa ada sesuatu di dalam perutnya, bagian bawah perutnya mengeras. Tuan Kumis Tebal dengan setia merawatnya, untuk menebus dosa-dosanya yang telah tega meninggalkan sang istri begitu lama.

Dua belas purnama berlalu tanpa kemajuan berarti, berbagai pengobatan telah dilakukan, hingga penanganan di rumah sakit modern di kota seberang. Tetap saja, kondisinya memburuk tanpa kemajuan. Oh Tuhan, akhirnya Engkau benar-benar mengambilnya. Aku mulai merasakan dingin menjalar dari ujung kaki-kakiku.

Sekarang tinggal Tuan Kumis Tebal sendiri, dia menggeleng lemah saat kedua tuan muda menawari pilihan, akan tinggal bersama siapa dia, tuan berkumis boleh memilih tinggal dengan siapapun. Dia tetap menggeleng, “Biarlah aku membayar kesepian ibu kalian dulu. Aku malu, tidak pernah merasakan beratnya merawat dan membesarkan kalian.”

Lelah memohon, kedua tuan muda pasrah, tetapi secara rutin bergantian menjenguk sang ayah. Tuanku berhasil menanamkan ilmu hati sebening embun itu, tidak ada dendam antara mereka. Lamunanku buyar, tuan muda pertama dengan keluarga kecilnya datang.

“Kamu pilih yang mana, Nay?” Aliya, cucu pertama tuanku bertanya pada adiknya. “Warna hitam ada nggak, Kak?”

“Nggak ada, tinggal grey dan tosca” Aku melihat telunjuk Naily, adik Aliya, lincah menyentuh permukaan benda yang disebut gawai itu, memilih baju via online, mereka menyebut-nyebut outer.

“Coba di toko lain, kak.” Lanjutnya.

Bagaimana nyaliku tidak semakin menciut? Aku berada di sini dengan sejuta kenangan hangat. Sekarang, lambat-laun seluruh kehangatan itu memuai, tersisa beku. Tuan muda dan cucu-cucu tuanku lebih memilih cara praktis untuk mendapatkan pakaian mereka, tinggal sentuh layar ajaib itu, dua-tiga hari kemudian, datang kurir mengantarkan pesanan mereka. Secepat ini kehidupan berubah, praktis dan cepat. Aku semakin tak berarti.

“Muat nggak mobil kita, Mas?” Tuan menantu, istri dari tuan muda pertama menyentuh telingaku. Aku kaget, apakah aku akan dirongsokkan? Barangkali inilah jawaban dari kebekuan yang aku rasakan selama ini. Aku akan dikeluarkan dan disingkirkan.

“Muat kok, pas kayaknya.” Tuan muda tersenyum mengamatiku. Perasaanku campur aduk. Mungkin inilah saatnya untuk secara utuh melupakan kenangan hangat dengan tuanku. Ia lanjut mengambil kemoceng dan membersihkan tubuhku, geli. Lama tidak ada yang melakukannya. Kalau saja aku punya hidung, pastilah aku sudah bersin-bersin.

“Mau dibawa kemana mesin jahitnya, Ma?” Naily mendekat.

“Mau Mama bawa pulang. Sayang kan, kalau dibiarkan disini. Gini-gini, Mama lulusan SMK tata busana lho.. nanti Mama bikinkan outer lucu-lucu dan keren deh” Aku menghela nafas, tuan menantu tersenyum lebar, menampakkan kedua lesung pipinya.

Terimakasih Tuhan, kurasai hangat kembali menjalari tubuhku.


2 komentar:

  1. Dengan sepenuh hati "Tuan" merawat "ia" sampai ratusan purnama berlalu. Kini, "ia" Tetap ada dan mampu bertahan di tengah kecanggigan teknologi yang serba praktis. Karena apa? karena sang "Tuan" merawatnya dengan sepenuh hati dan "ia" Bekerja dengan setulus hati... Ya, Kira-kira begitu😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. ada Mbak Mila..
      Terima kasih telah mampir dan nulis kesimpulan di sini.

      Hapus