Tulisan ini dalam rangka mengkristalkan secuplik
bagian dalam sebuah milestone kehidupan, menikah. Karena acara
nikahannya digelar sebiasa mungkin walaupun keluarga besar menginginkan prosesi
yang “semestinya” menurut pandangan mereka, jadi bagian yang paling berkesan
dan memorable menurut saya adalah proses menulis buku souvenir-nya.
Pun First time nulis buku utuh dari yang biasanya hanya
menulis a part of short story antology, hal ini juga bisa
dikatakan milestone dalam dunia menulis saya yang baru seumur
jagung.
Karena
sudah berbulan-bulan naskah ini mengendap di laptop dan tidak juga
dirampungkan, maka saya kembali bergegas agar bisa di upload di blog tepat pada
17 Februari 2022, menyelaraskan dengan momentum tiga bulan pernikahan. Wkwkwkkk.
Juga karena menurut mitologi Romawi, Februari adalah bulan cinta, jadinya ya
sekalian saja. Yang paling penting tulisan ini bisa kembali dibuka
sewaktu-waktu, untuk kami kenang dalam waktu yang lebih panjang.
Timbul rasa aneh setelah membaca naskah yang
telah lama tertidur itu, ternyata alur waktunya tumpang tindih. Mungkin efek
pudarnya memori karena tulisan ini tidak segera dieksekusi dan diselesaikan.
Baiklah, rombak ulang dan susun berdasarkan sub bab agar lebih nyaman untuk
dikenang sepertinya akan lebih nyaman. Langsung saja….
The Main Inspiration
Terkait mengapa souvenir-nya sebuah
buku? sebagian sudah disebutkan di kata pengantar Bait di Awal Perjalanan.
Namun persisnya, menulis buku untuk souvenir nikah adalah
sebuah mimpi yang sudah hadir sejak jaman MTs (sekolah setingkat SMP) tepatnya
usai membaca novel perdananya Ning Khilma Anis –waktu itu Ning Khilma masih
berstatus mahasiswi, belum se-famouse sekarang sebagai penulis-
yang berjudul, Jadilah Purnamaku, Ning.
Dalam novel tersebut, sang tokoh, Nawang Wulan
digambarkan sebagai mahasiswa cemerlang, enerjik yang aktif dalam berbagai
organisasi dan beragam kegiatan volunteer, kerap menjadi
pembicara dalam forum-forum pergerakan mahasiswa, bahkan juga memiliki anak
asuh yang dia biayai sekolah, sangat egaliter berteman dengan kalangan bawah
(digambarkan memiliki kedekatan dengan nenek-nenek pemulung yang sudah renta)
pun dia merupakan seorang penulis. Gambaran Kehidupan mahasiswa yang penuh
dengan keceriaan dan faedah. Bahkan saat itu aku berharap bila
saatnya kuliah nanti, bisa mengikuti jejak sang tokoh fiksi tersebut, wkwkwkkkk. Namun
kehidupan pribadinya, baik keluarga maupun kisah asmaranya, jauh dari realitas
keceriaan ditanah rantaunya. Dari sinilah plot hidup Nawang dimulai, yang
pastinya happy ending dan menikah dengan seorang lelaki baik
hati yang sangat mencintainya. Nah, di pernikahannya inilah, dia menjadikan
novel yang ditulisnya sebagai souvenir.
Waktu itu saya sempat berpikir, seru kali ya
kalau nikah souvenir-nya buku. Saat itu belum jelas tergambar buku
apa, kalau misalnya ndak buku sendiri, buku Kumpulan Wirid dan
Doa Harian mungkin juga tidak masalah. Hehehe. Tapi syukurlah hal
ini tidak terjadi, khawatir membuat bingung para undangan, “sebenarnya ini
acara nikahan atau slametan kematian? wkwkkwkkkkkk”
Inspirasi Judul
Setelah bulatnya tekad memutuskan akan menikah
dengan Mas Yasir, perkiraan bulan November 2020 saya juga membulatkan tekad
menulis buku untuk souvenir tersebut. Saat itu belum tau apa
yang akan ditulis. Tapi niat ini sudah saya sampaikan kepada Mas Yasir.
Dan ybs senang sekali tentunya! Ilham terkait apa yang akan
ditulis baru muncul pada awal 2021, saat gabut males ngerjakan tesis, seperti
biasa saya berselancar dari satu blog ke blog yang lain, dan bertemulah dengan
Journal Kinchan, blog milik mbak Maharsi Wahyu yang biasa
disapa Kinkin, di sana saya menemukan tulisan Mbak Kinkin yang berjudul Bait
Permulaan, tentang awal perjalanannya mengarungi lautan Indonesia bersama
mahasiswa terpilih Indonesia (tidak disebutkan dalam program apa) mengunakan
KRI Surabaya 591 selama 30 hari. Pada paragraf terakhir dia menuliskan:
Aih,
saya harus bergegas mandi. Cerita ini pasti akan saya lanjutkan. Mungkin agak
sedikit lama dan tidak di blog ini pula. Anggaplah ini hanya sebagai bait
permulaan agar saya sendiri tidak lupa bahwa saya punya tugas: berbagi ilmu dan
cerita.
Usai
membacanya, taraaa! kalimat Bait di Awal Perjalanan langsung hadir di kepala
saya, sebagaimana kalimatnya ‘bait permulaan’. Sebagaimana Mbak Kinkin tulis
(tulisan lengkapnya bisa dibaca di sini https://journalkinchan.com/index.php/2012/09/25/bait-permulaan/),
sebagaimana yang dikatakan oleh Montaigne, seorang penulis dari Prancis “Dan,
karena saya tidak menemukan hal lain untuk ditulis, saya menyediakan diri
sebagai subjek.” Wkwkwkkk. Poses perjalanan menuju pernikahanlah
yang akan saya tulis. Hal itu dirasa tepat
karena Mas Yasir juga menuliskan mushaf sebagai mahar, plus proses kami sedari
awal memang cukup dramatis. Wkwkwkk. Tak lupa proses saling tulis
ini –menulis mushaf dan menulis buku- kami kaitkan dengan konsep mubadalah,
sebagaimana harapan dalam perjalanan rumah tangga kami daiman abadan.
Amin.
Per – DIY –an
Do It Your Self yang kemudian trend dengan
akronim DIY sesuai dengan artinya, “lakukan sendiri” merujuk kepada aktifitas
yang dilakukan secara mandiri dalam rangka membangun atau membuat sesuatu tanpa
bantuan tenaga profesional. Biasanya pelaku DIY membeli bahan mentah kemudian
dirakit sendiri dengan tujuan menghemat biaya, entah apapun itu. Nah, proses
pembuatan buku ini sejak awal memang ingin kami lakukan secara DIY. Hal ini
juga terispirasi dari souvenir pernikahan Mbak Ghea, (mbak siapa lagi ini??? efek suka bertamasya ke
blog rangorang. Wkwkwkkk.) saya juga ndak kenal
beliau, tapi juga kagum banget karena sanget kreatif dan produktif, silahkan
cari sendiri IG-nya. Lengkapnya, kisah souvenir Mbak Ghea bisa
dibaca di sini https://www.gheasafferina.id/2017/10/newchapter-06-diy-souvenir-pernikahan.html
Dengan
konsep DIY tersebut, jadilah kami menyusun apa saja yang harus dipersiapkan.
Hal penting kenapa dalam menerbitkan buku ini kami sangat optimis untuk DIY,
karena Mas Yasir selama kuliah –mungkin sejak duduk di semester 5 atau 6-
walaupun sambil nyantri juga nyambi di foto kopian. Jadi kami yakin bisa
mencetaknya sendiri karena jam terbang Mas Yasir dalam urusan cetak-mencetak
sudah lebih dari ukuran 24 SKS. Hehehe.
Karena
percetakannya sudah jelas, fokus utama selanjutnya adalah kertas, penerbit dan
editor. Kertas menyita banyak perhatian kami karena di Jember dan Lumajang,
tidak ditemukan toko kertas yang menjual book paper,
berminggu-minggu dalam setiap kesempatan Mas Yasir menghampiri toko-toko kertas
di Jember, nihil. Dan kami tentu tidak mau mencetaknya dengan HVS biasa karena
akan menimbulkan kesan ‘kek buku bajakan’.
Walaupun kertas adalah fokus utama, tapi secara eksekusi, dia yang agak akhir. Bila diurutkan, kami memulainya dari naskah, editor, kata pengantar Ibu Nurun Najwah dan Miss Dewi, penerbit, kertas, cover, barulah cetak.
Naskah dan Editor
Konsep
naskah sudah disusun secara imajiner sejak awal mengucapkan ‘nawaitu nulis
buku’, sebenarnya setiap hari saya selalu terbayang-bayang, apakah benar-benar
bisa menyelesaikannya? Demikianlah kalau tidak langsung eksekusi. Akhirnya saya
bulatkan tekad baja untuk memulai. Berangkat dari proses pengerjaan tugas-tugas
selama kuliah, saya terbiasa menuliskan bagian pendahuluan untuk memudahkan
kerangka pembahasan. Naskah ini pun demikian, bila sebagian penulis penulis
menuliskan pengantarnya setelah naskah rampung, maka saya menuliskannya persis
di awal, hanya menambahkan dua paragraf ucapan terima kasih sebelum dicetak,
dan memperbaiki beberapa kalimat sesuai dengan konteks saat naskah rampung.
Tepat pada 9 Agustus 2021, kata pengantar selesai ditulis.
Saat
membaca ulang kata pengantar tersebut, semangat saya
berkobar-berkobar, idealisme yang lama sirna diterpa badai topan
tesis yang tak selesai sebagaimana target pribadi –padahal Agustus uda tinggal
nunggu wisuda aja sebenarnya- seakan reborn, wkwk. Saya pun berani
menargetkan naskah akan beres dalam waktu sebulan, yang artinya pertengahan
September. Dalam benak saya pada saat itu, naskahnya ‘kan ringan,
layaknya jurnal harian insyaallah bisa lah! *mulai jumawa*
Bersyukur
pada suatu waktu, Kak Jule, cerpenis yang selama ini merupakan editor dalam
proyek-proyek antologi cerpen di komunitas Generasi Menulis (Gen-M), mengomentari WhatsApp
status-saya, entah tentang apa waktu itu, saya lupa. Alhamdulillah, bak
pucuk dicinta ulam pun tiba, saya yang sejak awal sudah komunikasi dengan Mas
Yasir terkait cara menyampaikan i’tikad agar mbak-mbak yang sedang menempuh
studi di Mesir tersebut berkenan menjadi editor, menemukan moment-nya.
Disela-sela chat, langsung saja saya utarakan keinginan kami.
Kak
Jule memberi tenggat, meminta waktu untuk berpikir. Ketar-ketir sebetulnya,
khawatir beliau tidak berkenan. Tapi ya juga maklum, karena Kak Jule saat itu
sedang berada pada fase tingkat akhir masa studinya, sering pula post
status tentang jadwal atau pengumuman tertentu terkait perkuliahannya.
Pikiran langsung menyusun rencana B kalau memang beliau tidak berkenan, karena
waktu terus berputar ‘kan?
Dan
ternyataaa… naskah saya molor sebulan dong, Oktober baru kelar. muncul ‘drama
kebingungan’ bagaimana caranya mengakhiri tulisan-tulisan yang sangat absurd
tersebut, harus dengan keabsudan seperti apa lagi untuk menutup? Akhirnya
si draf dibiarkan berhibernasi. Hingga Mas Yasir menyelamatkan
kegalauan melalui surelnya, yang membuktikan bahwa batin kami telah tertaut (howeks :P).
Bagaian akhir kemudian ditulis sebagaimana yang teman-teman baca. Itulah yang
terinspirasi dari surel kiriman Mas Yasir. Wkwkwkkk.
Dengan
malu-malu, kembali saya hubungi Kak Jule dengan menyampaikan bahwa naskah telah
selesai. Dan Alhamdulillah, ternyata beliau berkenan. Sangat terharu, karena
alasan beliau meminta tenggat waktu adalah karena mengikuti kelas editing
naskah terlebih dahulu. Masyaallah, sungguh tawadhu’ sekali, padahal ilmu
kepenulisan beliau sudah mumpuni. Biasanya, bersama Kak Richa, beliau dengan
kritisnya mengomentari dan memberikan masukan naskah-naskah di grup cerpen
kepada kami –saya utamanya- yang amat sangat newbie dalam
menulis. Huhu.
Proses
editing tidak butuh waktu lama, hanya sepekan. Mohon maaf Kak Jule, ini
karena ngirim naskahnya mepet banget ya? Huhu. Tidak lebih dari tujuh
hari, e-mail saya sudah mendapatkan balasan pesan dengan attecment naskah
yang telah glow. Terima kasih banyak atas segala kebaikannya, Kak
Jule. Jazakillah ahsanal jodoh, amin.
Permohonan
Kata Pengantar
Setelah
naskah saya serahkan kepada Kak Jule, saya baru matur kepada Ibu Nurun Najwah,
dosen sekaligus pembimbing tesis saya untuk menuliskan kata pengantar.
Kebetulan pada awal-awal Oktober saya sowan untuk menyerahkan hard copy tesis
sekaligus meminta tanda tangan bukti penyerahan sebagai tiket untuk menganbil
ijazah. Jadilah sekalian saya matur hajat ini.
Saat WA
bahwa saya akan sowan ke ndalem beliau, beliau meminta datang hari Jum’at
antara pukul sebelas hingga dua belas siang, pada waktu break. Karena pagi
hingga sore beliau ada kelas. Proses untuk mendapatkan kata pengantar ini saya
dibantu oleh banyak pihak. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah delapan
dianter Mbak Farrah ke Holland Bakery untuk beli fruit pudding sebagai
buah tangan untuk beliau, walaupun Holland hanya sepelemparan batu dari MAYOGA,
tapi kalau jalan kali sambil nenteng pudding kan ya lumayan.
Udah gitu Mbak Farrah ndak mau saat saya minta milih ini itu di Holland, kenapa
Anda selalu baik sih Mbaaaakkkk!
Ke
ndalem beliau dianter Shofi, sang driver antar propinsi yang
kalau nyalip meliuk-liuk tanpa ragu sedikitpun. Pukul sebelas lebih sedikit
kami sampai di kecamatan Prambanan. Tidak lebih dari 15 kami di ndalem beliau.
Setelah semua hajat terpenuhi dan beliau mengiyakan permintaan saya, akhirnya
kami pamit sekitar pukul setengah dua belas. Baru saja ban motor menyentuh
aspal jalan Solo, drama dimulai, hujan. Si driver lintas propinsi yang punya
trauma jatuh pas nyetir saat hujan, akhirnya menawarkan untuk ngiup. Sayangnya
kami tidak menjumpai tempat ngiup yang pas. Akhirnya mlipir di
bank BRI, wkwkkwkkk. Pun saat kami akan makan siang sebelum
kembali ke MAYOGA, SS juga turut berdrama. Kami berdua tidak tahu menahu kalau
hari Jum’at SS baru buka pukul 13.00, pantas saja pada tutup, mulai dari yang
depan UNY, MONJALI, hingga yang di selatan Monjali, kurang tau namanya daerah
mana. Semua tutup. Akhirnya, karena lapar dan lidah pengennya SS, kami menunggu
di kedai jus yang berada di seberang SS terakhir yang kami datangi.
Baru
saja menenggak jus stroberi yang disuguhkan si mbak, ada notifikasi WA dari Ibu
Nurun. Saat dibuka bertuliskan “ini td wktu mba Najma datang, br proses
nulis artikel, jd biar tidak cabang2… Ibu bikin tulisan pendek sj, ada bbrp
kata yg salah ketik, tlg nnt dibetulkan ya” dibawahnya ada document ms.word
yang terlampir. Ya Rahman... belum juga saya sampai ke asrama, beliau sudah
mengirimkan kata pengantarnya. Amat sangat terharu T_T Demikianlah beliau,
sosok perempuan yang sangat menginspirasi. Semoga segala semangat dan kebaikan
beliau nular ke saya. Amin.
Konten
kata pengantar yang ditulis Ibu Nurun berisikan nasihat bagaimana sikap yang
harus dilakukan dalam menghadapi kehidupan agar benar-benar merasakan
kebahagiaan yang sesungguhnya. Tulisan beliau sesuai harapan kami, pesan umum
kepada semua pembaca buku kami nantinya. Saya lanjut matur Miss Dewi, Kepala
pesantren di MAYOGA untuk berkenan menuliskan kata pengantar khusus dengan
konten nasihat pernikahan. Alhamdulillah gayung bersambut. Padahal maturnya
tidak sowan langsung ke ndalem beliau, tetapi pas ngobrol-ngobrol santai saat
beliau ke kantor pagi-pagi sekali. Alhamdulillah, dua kata pengantar saya
terima sebelum naskah hasil edit dikembalikan oleh Kak Jule.
Bersyukur
sekali tahapan ini Allah mudahkan, sejak awal sudah over thinking, khawatir
beliau-beliau tidak berkenan. Pun kalaupun berkenan juga khawatir akan
memerlukan waktu lama, mengingat aktivitas keduanya yang sangat padat.
Alhamdulillah Allah mudahkan.
Penerbit
Sebagai
kaum idealis, tentu kami –saya khususnya- mau buku ini walaupun retjeh tetap
ber-ISBN, sekalian nulis sekalian jadi portofolio ya kan? Awal-awal kami
mencari penerbit di Instagram, penerbit-penerbit milenial yang main
IG biasanya lebih terbuka dan mencantumkan price list dengan
detail ‘kan? Tapi hingga detik-detik terakhir tidak kami dapatkan penerbit yang
cocok. Rerata memasang batas minimal nyetak, sementara yang kami butuhkan hanya
paket untuk mendapatkan ISBN saja. Sempat nanya-nanya juga kepada teman-teman
yang pernah menerbitkan bukunya secara indie, pun ngumpulin kontak-kontak
penerbit yang mereka gunakan, ada yang di Banyuwangi, Solo dan Jogja.
Proses
pencarian penerbit sempat kami pending, karena tidak mendapatkan yang sesuai
harapan. Akhirnya, pada suatu sore saat saya kopdar di SMPN 1 Yogyakarta,
dengan salah satu pengurus FLP Yogya, Mbak Arum, untuk COD antologi yang memuat
cerpennya. Saya juga nanya-nanya penerbitan ke Mbak Arum, dan diingatkan dengan
Rumah Karya, penerbitan milik Mas Rezha, juga pengurus FLP Jogja. Sepulang dari
Mbak Arum, lanjutlah saya stalking.
Ternyataaa… Rumah Karya
menyediakan 4 jenis paket penerbitan, salah satunya paket penerbitan ISBN,
paket inilah yang kami pilih. Teman-teman
yang berkepentingan menerbitkan naskah segala jenis genre, bisa chek IG
@iderumahkarya. Tanggap dan komunikatif banget, padahal selama di Jogja saya
ndak pernah jumpa langsung dengan Mas Rezha. Tanggal 05 November, tiga hari
setelah boyong dari Jogja ISBN Bait di Awal Perjalanan akhirnya terbit. Normalnya
proses ISBN ini tidak lebih dari seminggu, tetapi karena PERPUSNAS sedang
berbenah sistem, jadilah rumayan molor. Tak apa, karena sama sekali tidak
terlambat.
Hunting Book Paper
Sebagaimana dikatakan di
awal, Mas Yasir sudah ubek-ubek se-Jember Raya tak satupun
toko kertas yang menjual book paper, lama kami mencari solusi
dengan komunikasi jarak jauh, sempat juga sekali pesan satu rim di market
place sebagai sampel untuk Mas Yasir uji mesin. Tapi ya gitu, yang
namanya beli eceran pasti harganya lebih tinggi dari pada grosiran ‘kan? Mas
Yasir juga menghubungi teman-temannya yang berada di Surabaya, siapa tau ada
yang bisa mengirimkannya. Sayangnya info yang kami dapatkan minim, barangkali
karena teman-teman Mas Yasir yang di sana bukan orang percetakan. Akhirnya
diputuskan saya akan mencari di Jogja dan mengirimkan ke Jember.
Awal-awal masih
santai, tokh ya masih lama, dan seperti biasa Juga karena
strategi pencarian kertas sudah disusun secara imajiner di kepala, jadi santai
saja. Saya menyusun strategi untuk bertanya langsung ke foto kopian yang sering
menggunakannya. Sebelumnya saya pernah tahu Pink Foto Copy yang berada di
Sapen, belakang UIN, menggunakan book paper saat mengkopi
buku-buku mahasiswa.
Suatu hari, sekitar
akhir bulan Juli saya mendatanginya dengan modus membeli satu rim book
paper. Lanjut curhat ke bapaknya bahwa saya membutuhkan banyak kertas untuk
dikirim ke Jawa Timur, karena bapaknya welcome, lanjutlah saya
bertanya dimana tempat kulak book paper yang bisa mereka
gunakan. Wkwkwkkkk. Sang bapak menjelaskan sebuah rute, tapi saya
yang sejak awal menginjakkan kaki di Jogja sering kebolak-balik antara timur
dan barat, pun tidak pernah nyetir motor sendiri karena mengagungkan
trauma, akhire yo ra mudeng apa yang disampaikan. Hahaha.
Bapak di PINK sudah memberikan ancer-ancernya, dekat dengan toko apaaa… gitu
(sekarang saya lupa nama tokonya, waktu itu inget). Waktu itu pas tak cari
di google map juga ndak ada. Heu.
Dan pada sebuah pagi,
usai mengambil sarapan, curhatlah diri saya kepada Mbak Farrah, kalau
butuh book paper untuk souvenir tapi belum
tau harus beli dimana. Ternyata saya curhat kepada orang yang tepat. Bersyukur
sekali ada paman Mbak Farrah di Bantul yang punya percetakan, otomatis sering
banget kulak kertas. Saat Mbak Farrah menghubungi beliau, langsung dikasih
kontak tokonya dooong! Alhamdullillah T_T dua toko yang berbeda sekaligus.
Awalnya Mbak Farrah siap ngantar untuk beli, tapi setelah Mas Yasir hitung,
yang kami butuhkan sekitar 13-an rim, tidak mungkinlah saya dan Mbak Farrah
berangkat berdua dengan motor, nggak kebayang bagaimana harus membawanya. Finally minta
tolong ke Iqbal, berharap bisa diangkut dengan mobilnya yang gede, hehe.
Gayung bersambut, Iqbal berkenan, dia punya waktu kosong.
Bersyukur lagi karena
hari janjian beli kertas bareng Iqbal, bertepatan dengan Mbak Farrah Munaqasyah
alias sidang tesis. Kami berangkat usai Mbak Farrah sidang karena ybs sidangnya
pukul setengah lapanan (kalau nggak salah) 21 Oktober, sekalian perayaan
kecil-kecilan. Sayang sekali kita ndak sempet foto-foto ya pas diluar
ya, hiks. Di galeri adanya video absurd ini, wkwkkkk.
Ternyata, beli book
paper tidak semudah beli kertas HVS yang tinggal bilang beli sekian rim. Wkwkwkkk.
Kertasnya itu ukuran besar, seukuran lembaran karton, ukuran berapa ya? A1
mungkin. Dari kertas itu barulah dipotong ukuran A4. Sebundel (saya ndak faham
satuannya kertas ini, anggaplah bundle, wkwkw) kertas bila dipotong
jadinya 8 rim, kalau mau nambah, harus beli sebundel lagi, yang kalau dijumlah
jadi 16 rim. Sementara saya hanya kurang 3 rim (2 rim uda beli duluan,
masing-masing di marketplace dan Pink Foto Kopi waktu itu).
Akhirnya, kami menuju Pink untuk membeli 3 rim lagi. Syukurlah si Bapak masih
ingat saya dan masih mau meladeni saya ngecer kertas dengan menghitung manual
kertas hingga 1.500 lembar. Hahaha. Kertasnya memang harus dihitung
karena kemasannya kan tidak per-rim langsung. Plus beliau pack dengan
rapi karena saya bilang mau dipaketkan ke JATIM. Sungguh terharu walaupun
matahari Jogja mulai terasa terik :’)
Bergegas kami menuju tempat kargo di jl. Kaliurang, kargo pun saya sempet riset agak lama, karena sebelumnya belum pernah maketin barang dalam jumlah besar, paling-paling hanya paket-paket kecil melalui ekspedisi yang banyak ditemui di sekitar. Saat ditimbang, ternyata berat total 25kg. Hehehe. Untunglah pakai jasa kargo, ongkirnya murce sangat, hanya sekitar 80-an ribu plus biaya packing.
Book paper mission completed, paket tiba dengan selamat di Jember empat hari
setelahnya. Alhamdulillah. Big thanks to Mbak Farrah dan Iqbal
yang telah menemani menelusuri Jogja dari bagian utara, keselatan, balik lagi
utara. Wkwkwkkkkk.
Layout dan Cover
Proses ini bagiannya Mas Yasir dan
tidak banyak drama, karena sebelumnya kami sudah sangat sering terlibat
proses design walaupun dengan komunikasi jarak jauh. Dia sudah
bisa paham banget apa yang saya mau seabsurd apapun sketsa saya.
Untuk layout cukup dengan sekali proses saja sudah fix, karena contoh yang saya ajukan jelas, tinggal menyesuaikan dengan buku kami. Sementara cover sempat mengalami perubahan dari ide awal. Rencana sebelumnya, kami sudah sepakat dengan gambar utama couple yang sedang menaiki pesawat, sebagai gambaran filosofi sebuah perjalanan kehidupan dan a hope to around the world (biasa lah, anak idealis, hehe) prosesnya tidak kurang dari dua jam sepertinya, karena cover ini sudah kami bahas lama dan sudah mengumpulkan bahan-bahannya, jadi pada waktu yang ditentukan tinggal eksekusi saja. Tapi setelah selesai, tiba-tiba muncul ide untuk mengganti gambar pesawat dengan balon udara, karena kesannya lebih manis. Filosofi pun dirubah, naik hot air balloon sebagai harapan untuk bisa ke Turki, negara yang ingin sekali Mas Yasir kunjungi untuk belajar khat langsung dari para masyayikh, para grand master khat yang bermukim di sana. Waktu itu Cappadocia belum seviral seperti sekarang di sosmed, karena Mbak Kinan belum menyatakan kekecewaan ke Mas Aris tentang dream-nya yang malah dia wujudkan dengan wanita lain. Huhu.
|
Baiklah, karena sudah mulai ngantuk, cerita the
last process, yaitu ‘mencetak’ menyusul saja, terlalu banyak dramanya
untuk dideskripsikan malam ini. Entah kapan akan bersambung lagi, karena
besok lusa hingga akhir bulan ini ada project-project bersama
para bestie yang harus dirampungkan. Wkwkwkkk. Good
night, rest well. Oh iya, selamat tiga bulanan, Pak:P |
| Sketsa yang sangat bagus :D |
| ||||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar