Pertengahan Januari pulang dari Kauman. Tetapi baru mulai fokus
menyusun tesis pada akhir Februari. Apa kendalanya? Klasik saja, aku tidak
betah berlama-lama di depan laptop. Jangankan untuk menggarap tesis. Menulis
tulisan ini yang tak perlu berpikir sistematis dan ilmiahpun, mundur seminggu
dari deadline. Hiks.
Saat di Semarang, aku sudah menyusun bab II dengan lengkap tapi
masih kasar, hanya asal tulis saja. Bab III kerangkanya sudah aku tulis. Sebelum
pulang, aku lebih dulu konsul dengan Ibu Nurun terkait daftar isi, beliau menelpon, ada banyak koreksi pastinya, tetapi setidaknya kerangkanya sudah sesuai dengan
arahan beliau. Dan karena menurutku arahan beliau tidak susuai dengan data yang
aku himpun, kemalasanku pun untuk membuka laptop dan mulai menyusunnya semakin
menjadi-jadi. Padahal sebenarnya yang beliau arahkan sudah jelas –baru sadar ya
saat ini, setelah ujian- tetapi karena kapasitas otak yang sesndok berhasil
bekerjasama dengan overthinking, aku gagal paham dan mulai muncul
spekulasi-spekulasi dan kekhawatiran yang tidak jelas. Gimana kalau nanti
begini begitu. Entah apa saja yang aku lakukan selama satu setengah bulan itu. Intinya,
aku baru menggarap kembali tesis sepulang dari acara nikahannya Mbak Faizah. Likuran
Februari, Mbak Faizah nikahnya tanggal 22-02-2020 (Tanggal yang sangat
cantik btw) dan aku baru eksekusi setelahnya.
Wkwkkkkk, mari kembali ke topik. Entah kenapa, pada masa-masa itu
rasanya aku eneg banget lihat laptop. Sementara waktu terus berjalan.
Ini sudah ngulur satu semester, jadi semester ini haruslah usai. Dengan
membulatkan tekad “nawaitu mekso awak” aku mulai menyicil bab III. Sehari
hanya nulis 400-700 kata, pernah nulis hingga 1000 kata, pun hanya sekali,
wkwkkkkk. Struggle sekali rasanya. Setiap usai subuh aku tidak melakukan
kegiatan apapun selain buka laptop, kecuali ada diniyah pagi anak-anak. Niatnya
mumpung masih fresh dan minim usikan, sepagi mungkin aku memulai. Tetapi
yang aku lakukan adalah membuka blog hariannya pak Dahlan Iskan, DI’s Way
ditambah Happy Wednesday, blog mingguan putranya bila hari rabu, laman Kliping Sastra,
basabasi.co, Lakon Hidupnya Pak Benny Arnas dan blog-blognya orang yang aku
buka secara random. Terus begitu hingga baterai laptop merah. Kalau baterai
sudah habis, aku lanjut makan, mandi, dhuhaan, scroll IG, tidur, dhuhuran, buka
laptop lagi, buka laman-laman yang tidak ada kaitannya dengan tesis, tutup
lagi, shalat, makan, shalat, ngaji, tidur. Tengah malam bangun, buka laptop,
sedikit nulis dilanjutkan dengan hal-hal random lainnya. Berulang. Benar-benar
GJ yang haqiqi.
Sampai akhirnya aku kelar menyelesaikan Bab III walau masih mentah.
Sama sekali perlu editan keras. Aku belum beranjak ke bab IV karena aku merasa
perlu sekali mendapatkan validasi apakah bab III sudah oke. Ditengah kegabutan,
aku mencoba menghubungi Mas Barir, sang kakak tingkat panutan yang tesisnya
menjadi pijakan awal risetku itu lho. Kontaknya aku dapat dari CV yang
terlampir di tesisnya, yang aku unduh
dari web perpus. Voila, kontaknya masih aktif dan beliau menjawab
pertanyaan-pertanyaanku yang mengganjal di bab III. Alhamdulillah.
Hingga suatu hari, mas Barir inbox, bukunya cetak lagi yang ke-2, auto
pesen dong, karena selama ini buku yang aku pakai masih punya Mbak Faizah
(huhuu.. thanks banget mbak Paizah, tanpa bukumu, tak akan mulai
tesisku). Dan mas Barir yang aku kira sudah kembali ke daerah asalnya, Gresik,
ternyata masih stay di Jogja karena pekerjaan. Nawarinlah beliau buat
nganterin langsung ke asrama, yeaayyy.. betapa girangnya diriku mengingat sejak
2017 Pak Rafiq bercerita tentang tesis Living Qur’an ‘terniat’ itu hingga saat
ini aku masih menggunakan bukunya sebagai acuan pokok. Bertemu beliau rasanya
me-refresh semangat untuk lekas kelar, bahwa kajian yang aku lakukan
berarti. Setidaknya demikianlah beliau melapangkan dadaku.
Aku lanjutkan menyusun bab IV, sama sekali tidak konsultasi dengan
Ibu Nurun, bukan karena sudah bisa mengerjakan sendiri, tapi karena terlalu
banyak khawatir dan terlalu banyak memikirkan kemungkinan buruk. Hendak
mengirim pesan di WA saja mikirnya lama sekali. Huhu. Baru aku sadari, menyusun
tesis ini serasa memikul karung beras 50kg. berat pake banget. Liat laptop di
meja bawaannya pengen nangis terus. Heheee. Serius ini bukan lebay. Entah
kenapa aku yang cenderung plegmatis, dalam menyelesaikan tesis menjadi didominasi melankolis, jadi sensitif dan baperan. Benar-benar selama
proses penyusunan tidak ngapai-ngapain selain aktivitas primer yang menjadi
tanggung jawab. Sudah lebih setahun sama sekali tidak produktif, masa-masa
inipun semakin berat bagiku karena kerap dihampiri perasaan useless, pun
pesimis akan hasil risetku yang ternyata “B aja, hanya kek gini.” Hiks.
Dari pada kelamaan sakit mental, aku segera myelesaikan semampuku
dan aku kirim via WA ke Ibu Nurun, seperti biasa, beliau garcep sekali membalas
pesanku. Dan berjanji untuk mengirimkan revisian minggu depan. Hmmmphfff..
setidaknya seminggu kedepan aku bisa bernafas lega. Tepat di hari ketujuh,
beliau menghubungiku. Aku yang kerap meninggalkan HP dalam keadaan silent
tidak menyangka beliau akan menghubungi hari itu juga, aku pikir keesokan
harinya, karena aku ngirim berkas Rabu, ternyata Selasa sudah menghubungiku.
Pas lihat HP sebelum shalat dhuhur, sudah terdapat WA beliau, 2 panggilan tidak
terjawab, dan beliau juga nyari di grup karena aku not responding. Saya
goler-goler sepagian, Bu. Maaf.
Beliau akan menelpon lagi pukul 2 usai ngajar. Untunglah HP aku
genggam erat-erat. Pukul setengah 2 beliau sudah menghubungi dongs. Siapkan alat
tulis, kata beliau. Baca pesannya saja aku ndredeg, duh.. apa saja
koreksinya ini? setelah aku membalas siap, beliau langsung menelpon dengan
beberapa catatan. Karena ke-songong-an ku, aku ber-insyaallah akan mengumpulkan
revisian minggu depan. Banyak catatan beliau yang diberikan, dalam semua bab,
awalnya enjoy saja aku melakukan revisi, dengan motivasi harus selesai
sebelum ramadhan. Karena hanya menambah-nambahi dan merubah klasifikasi tradisi
al-Qur’an di bab III. And then, drama kembali di mulai pada bab IV.
Muales banget karena aku sendiri tak paham dengan aplikasi teorinya.
Wkwkwkkkkk. Pantaslah kalau Ibu Nurun juga bingung saat membacanya karena
akupun tidak tau apa yang aku tulis.
Kembali aku membaca buku pak Sunyoto Usman, mencoba membaca dengan
sadar dan menangkap inti sari yang beliau sampaikan. Membacanya sambil duduk,
rebah, setengah rebah, bahkan melungker. Pun tempatnya pindah-pindah, di
kamar, kantor pondok, dekat pos satpam, di rooftop masjid. Hingga leccek-lah
si buku yang sampulnya berdominasi putih itu. Bismillah, aku tulis kembali
dengan pelan-pelan dan memendam emosi “Kapan sih ini selesainya, kok ndak
selesai-selesai.” Heheee.
Tepat seminggu sebagaimana janji mengumpulkan kembali revisku
kepada beliau, belum selesai dong revisinya. Aku menghubungi Ibu pembimbing
yang sangat baik itu, minta maaf karena belum bisa menepati janji, “masih
struggle di bab IV, Bu” dan dengan sabar beliau membalas, “semangat, silahkan
dikerjakan.” Akhirnya 10 hari kemudian, aku kirim ulang. Tiga hari setelahnya,
27 April 2021, cccepted. Allahu Akbar! Alhamdulillah.. akhirnya.
Walaupun ada drama-drama administrasi dengan Bu Nurun, tapi overall
aman. Bersyukur sekali mendapatkan pmbimbing yang tegas, garcep, dan
mengarahkan dengan jelas. Hal penting sekali dalam masa mengerjakan tugas akhir
di era pandemi. Mengingat juga tidak sedikit teman-teman yang pembimbingnya
sering telat balas WA dan lama memberikan revisian. Bahagia sekali mendapatkan
pembimbing beliau, walau sedih juga rasanya karena Hingga tesis ini selesai,
aku belum pernah berjumpa secara langsung dengan Ibu Nurun. Hanya dua kali di kelas
sebelum pandemi di matkul Hadits dan isu-isu kontemporer.
Sambil menunggu hasil cek plagiarisme oleh bapak Kaprodi,
aku mulai mengurus berkas pendaftaran sidang, termasuk melakukan pembayaran ke
bank. Termasuk dianterin ke studio foto untuk pasfoto oleh Mbak Iwwa, mamacih
ya mbakkkkk. Alhamdulillah, hasil cek plagiasi sudah keluar, 11% dari batas
minimal 20%. Tetapi ini bukan berarti drama telah berakhir, berkas-berkas untuk
daftar sidang yang berjumlah 21 jenis masih kurang satu, dokumen power point
tesis. Hanya satu itu, dan mungkin bagi orang lain itu bukan hal yang sulit,
tapi bagiku itu adalah hal yang berat. Terlalu banyak yang terlintas di otakku.
Bagaimana bentuknya, mau thema pakai warna apa, bagaiamana penulisan poin-poin
latar belakangnya agar aku mudah mempresentasikannya –bagiku yang kalau ngomong
kerap njlibet- bagaimana meringkas teorinya agar tampak poin pentingnya.
Foto mana yang harus aku lampirkan. Semua aku pikir, kambuhlah penyakit
mentalku -hanya memiikirkan tanpa eksekusi. Dan PPt itulah yang menghambat
proses, semua karena aku kebanyakan mikir. Dari berkas yang sudah siap sejak
tanggal 1 Mei, aku baru daftar sidang 19 Mei, usai hari raya. Yassalam. Lama
sekali nunda-nundanya ya. Padahal proses pendaftaran oline dibimbing
langsung oleh ahlinya, Mak Anti si Puteri Sulawesi via VCall. Thanks ya
makkkkkk. Tanpamu apalah aku. Tapi ya gitu, dua minggu setelahnya aku baru
setor berkas ke bu Tuti, pun dengan PPt seadanya karena tenaganya buat eksekusi
uda habis tertelan pikiran-pikiran negatif sebelumnya.
Begitulah, semoga penyakit kebanyakan mikir dan gemar menunda-nunda
ini segera diangkat oleh Yang Maha Kuasa. Amin..
Lanjut ke
drama terakhir, heheeee



Serru tauk, na! Emang ya beda² dramanya 😂 btw, selamat sudah s2 🎂
BalasHapusHeheheee.. Terima kasih banyaaak. Btw ini dgn siapa yak..? wwkkwkkk
Hapus