Kemarin lusa, rasa senang tiba-tiba hadir saat paket yang berisi sepotong baju tiba. Barangkali karena memang jarang sekali membeli baju kecuali butuh untuk sebuah acara, atau pun kegiatan dengan dress code yang saya tak punya warnanya. Tapi sensasi senang ini tidak biasanya hadir saat beli baju pada masa-masa tersebut. Rasa senang masih bersemi hingga kemarin, saat mengangkat sang baju baru dari jemuran setelah saya cuci pada pagi harinya. Rasa senang kembali kembali hadir, melihat label yang terjahit di bagian pundak atas, membuat saya ingin menulisnya lebih dalam. Saya mulai memahami, hal apa yang membuat sepotong kain navy berbunga-bunga pink ini turut membuat hati berbunga-bunga.
Berlabel Žena. Saya
belum tau apa artinya karena memang belum sempat nanya sama owner-nya.
Iya, saya kenal baik dengan pemilik brand karena baju itu tidak berasal
dari marketplace yang notabene kita chek out tanpa tau
siapa penjualnya. Kalaupun sempat berkirim pesan dengan sang penjual, hanya
untuk memastikan yang akan kita beli sesuai dengan yang kita inginkan. Juga
rasanya minim banget kenal kalau memang bukan toko online milik teman
ataupun kerabat.
Oke, kembali ke Žena. Adalah
label dari baju-baju yang dijahit oleh Famelya Arifah. Ibunya adalah penjahit
legendaris di Jenggawah, Jember. Saat kuliah pernah berkesempatan nginep di
rumahnya, ibunya sedang ada garapan seragam sekolah yang bertumpuk-tumpuk
hingga kursi-kursi ruang tamunya penuh. Sebagian besar sekolah-sekolah di
daerahnya mempercayakan jahitan seragam kepada beliau, karena memang jahitannya
senyaman itu. Nyaman banget malah. Pas. Jahitan rapi. Itulah alasannya aku yang
walaupun tinggal di Lumajang, rela banget jahit baju jauh-jauh ke Janggawah,
Jember.
Btw, walaupun Famel di
Jember dan kita sama-sama alumni IAIN Jember (sekarang sudah alih status UIN) Saya
kenal Famel sejak di Malang, adik Tingkat saat nyantri di pesantren Asy-Syadzily.
Saat di pesantren, famel memang kerap mengenakan baju yang lucu-lucu. Awalnya
saya pikir itu adalah brand-brand matahari seperti Nevada, Triset, St.
Yves, karena tipe-tipe baju katun casual tapi tampak kokoh gitu. Diksi
apa ya untuk menggantikan kata kokoh di sini, yang saya maksud itu sejenis
‘antep’ dalam bahasa Madura. Wkwkkwkk.
Baju Famel yang paling
saya ingat sampai sekarang saat di pesantren adalah gamis dengan bagian atas
berwarna kuning agak oranye, warna fire menurut google. Dan
bawahan bunga-bunga dominasi kuning dan oranye. Awalnya saya tidak terlalu notice,
pas ditahun terakhir, saya sempat sekamar sama Famel (di kamar pojok itu kan, Mel?
Yang sama Mbak Fariq dan Putri kalau nggak salah ya?) saya nanya, kok baju kamu
lucu-lucu, beli dimana? Dijawabnya, “bikin sendiri, Mbak, ibuku yang jahit.” Seketika
aku langsung jatuh hati sama si ibu walaupun aku tidak tahu rupa ibunya.
Hehehe.
Ndilallah, saat saya lanjut
kuliah di Jember, pas semester 4, ada saudara yang juga mau kuliah, uda
keterima tinggal urus daftar ulang. Jaman itu urus-urus kuliah belum serba online
seperti serkarang, setor berkas, urus-urus rekening yang sekaligus menjadi
kartu mahasiswa, ukur jas almamater, semua dilakukan offline di aula
depan rektorat. Nah, tiba-tiba disapa Famel, tertanya anak bocil uda lulus SMA
dan juga keterima di IAIN. Oh, senangnya! Kami langsung bertukar kontak.
Awal-awal saya lupa
kalau ibu Famel penjahit. Saya sempat bikin gamis di salah satu penjahit
sekitar kampus, pas uda jadi, cingkrang dong, alias kependekan. Akhirnya si
baju ndak pernah kepakai. Pas suatu hari dapat hadiah kain dari Ibu pengasuh pesantren
untuk para pengurus, akhirnya saya ingat Famel, kami ketemuan di kampus untuk
serah terima kain plus contoh baju milik mbak-mbak pondok yang saya sukai
modelnya. Jadi ndak perlu ukur-ukur lagi. Pas sudah jadi, bentuknya jadi sama
persis dong dengan contoh. Yang paling penting, nyaman sekali dipakai. Bagian
bahu sangat simetris (katanya ibu saya kalau mau tahu kualitas jahitan bagus
atau tidak, lihat pagian bahunya. Kalau nyaman dan pas dipakai, berarti
penjahitnya pro)
Berikutnya, saat kami
kembali mendapatkan jatah kain pengurus, saya mengusulkan kepada teman-teman
untuk menjahit ke ibunya Famel saja, dengan menunjukkan baju saya yang hasil
jahitan sebelumnya, teman-teman lansung setuju. Dan terharunya lagi, kami para
santri sekaligus mahasiswa yang ruang geraknya sangat terbatas--dilarang
membawa motor--sementara rumah Famel berjarak dua kecamatan dari kampus, tidak
ada angkot kuning yang bisa membawa kami ke rumahnya untuk ukur-ukur. Saat
disampaikan kendalanya, ternyata Famel dan ibunya siap ke pondok untuk mengukur
langsung badan kami. Huhu.
Pun beliau sangat
profesional sekali, menanyakan kapan jadwal kami kosong, karena faham banget
kalau mahasiswa yang nyantri banyak sekali kegiatan. Siang ngampus, malam
ngaji. Akhirnya disepakatilah malam usai deresan. Pada waktu yang telah
disepakati, Famel datang bersama ibu plus meteran jahit. Terharu sekali saat
salim, tangan beliau anyep terkena angin malam karena motoran. (aku
ingat banget ini, Mel). Pas seragamnya uda jadi, semua suka, semua senang,
sesuai ekspektasi :3 banyak yang mengira kami beli jadi.
Setelahnya saya lama
tidak lagi beli-beli kain, memang jarang banget beli baju kan? Hingga akhirnya
sepulang dari KKN di Jayapura, saya dihadiahi dua kain batik Papua oleh
teman-teman, yang satu bermotif Tifa, panah dan busur, satunya lagi bermotif
Komoro khas suku Papua. Akhirnya saya kembali menghubungi Famel untuk
menjahitkan keduanya. Yang bermotif Tifa saya minta untuk dimodel sebagaimana
gamis saat pertama kali mendapatkan jatah kain pengurus santri. Pas selesai,
Famel minta maaf karena posisi motif kain depan belakang tidak sama
menghadapnya (salah satu sisi entah depan atau belakang, panahnya menghadap ke
atas) agar kain cukup dan bagian lengan tetap simetris katanya. Sungguh sangat
solutif, padahal perbedaan motif sebenarnya tidak kentara.
Motif Komoro saya minta samakan dengan blouse-nya
Famel, dulu saat Famel memakai blouse biru pucat itu ke kampus, saya
langsung suka modelnya. Walaupun dijahitnya tidak dalam waktu bersamaan, karena
budget buat ongkos jahit saat itu masih terbatas (wkwkwkk, maklumlah masih
mahasiwa) tapi keduanya oke, tidak mengecewakan. Bahkan masih menjadi baju favorit
saya saat melanjutkan kuliah di Jogja. Nyaman banget dipakainya ya Allah….
Menjahit kain Papua
adalah saat-saat akhir saya kuliah, saya tak lagi jahit-jahit kain ke Famel.
Padahal pada suatu waktu, saat sudah lulus, saya sempat menginap di rumah
Famel. Famel sendiri yang menjemput ke Curah Kates saat saya ada kepentingan ke
RTQ Curah Kates. Mumpung nginap, sekalian saya minta ukur buat gamis.
Sebenarnya sejak lama ingin membuat gamis berbahan Balotelli (2018 itu marak
banget dijual gamis berbahan Balotelli) karena kalau beli langsung di
toko-toko, rerata modelnya roknya lebar, sementara saya tidak suka dengan model
rok yang lebarnya kebangetan. Ribet rasanya. Saya buatlah design
sendiri, ukur dan beli kain kombinasi berdasarkan hasil ukuran ibu Famel. Dan
akhirnya jadilah baju favorit saya yang hingga saat ini masih kerap dipakai.
Hehehe.
Semenjak lanjut ke studi ke Jogja, sudah pasti
hubungan jahit menjahit dengan Famel terputus. Tau-tau Famel bikin IG story Žena
Fashion dengan video epic baju-baju beragam model, ada gamis
bahan brukat, aneka overall dengan warna-warna pastel, aneka blouse yang
rasanya uda kayak foto video di butik. Saya replay story-nya, bertanya
baju-baju di mana itu? ternyata hasil jahitannya dia. Bahkan sekarang tinggal
pesan dan ukur, kainnya dia yang carikan. Waahh semakin jatuh hati, karena selera
warna Famel bagus, bisa dipastikan kombinasi warna yang dibuatnya juga bagus.
Sebagaimana yang saya bilang, model dan warna-warna baju jahitannya kek
produk Matahari. Warna soft, casual tapi kokoh gitu.
Entah kenapa awal
tahun lalu saya pengen banget punya baju warna navy dengan motif pink. Saat
ada kesempatan ke Jember saya cari-carilah ke toko kain. Dapat. Walaupun
sebenarnya saya kurang suka motifnya, tapi tak apa, karena hanya itu navy pink
yang saya temukan, minimal sudah mendekati keinginan saya. Kembali saya
terhubung pada Famel dan walaupun sudah mengatur jadwal untuk datang langsung
ke rumahnya, kesempatan itu masih belum ada. Padahal posisi sudah di Mangli,
kain plus contoh baju akhirnya dipaketin ke Janggawah. Wkwkwkkkkkk.
Si navy bunga pink pun
tiba kemarin, untunglah sebelum dibuka, Famel menjelaskan kalau panjangnya
ditambah sekian senti dari ukuran asalnya karena jenis kainnya akan mengerut
usai dicuci. Dan benar dong, yang awalnya sangat kedodoran jadi pas ukurannya setelah
dicuci. Bersyukur sekali penjahitnya sudah pro. Huhuuu. Sungguh aku sayang
kepada Žena dan segala hal tentangnya. Yang butuh jasa jahit profesional, bisa
hubungi @zenafashion3 atau owner-nya @famelyaa_ ya gaess!!!
![]() |
| Lebih panjang sekian senti dari Si Batik Tifa. Tapi jadi sama persis setelah dicuci. Sungguh penjahit yang sangat profesional. |
Ditulis pada 23 Maret 2022.


