Sabtu, 03 Juni 2023

Tentang Žena

 Kemarin lusa, rasa senang tiba-tiba hadir saat paket yang berisi sepotong baju tiba. Barangkali karena memang jarang sekali membeli baju kecuali butuh untuk sebuah acara, atau pun kegiatan dengan dress code yang saya tak punya warnanya. Tapi sensasi senang ini tidak biasanya hadir saat beli baju pada masa-masa tersebut. Rasa senang masih bersemi hingga kemarin, saat mengangkat sang baju baru dari jemuran setelah saya cuci pada pagi harinya. Rasa senang kembali kembali hadir, melihat label yang terjahit di bagian pundak atas, membuat saya ingin menulisnya lebih dalam. Saya mulai memahami, hal apa yang membuat sepotong kain navy berbunga-bunga pink ini turut membuat hati berbunga-bunga.


Berlabel Žena. Saya belum tau apa artinya karena memang belum sempat nanya sama owner-nya. Iya, saya kenal baik dengan pemilik brand karena baju itu tidak berasal dari marketplace yang notabene kita chek out tanpa tau siapa penjualnya. Kalaupun sempat berkirim pesan dengan sang penjual, hanya untuk memastikan yang akan kita beli sesuai dengan yang kita inginkan. Juga rasanya minim banget kenal kalau memang bukan toko online milik teman ataupun kerabat.

Oke, kembali ke Žena. Adalah label dari baju-baju yang dijahit oleh Famelya Arifah. Ibunya adalah penjahit legendaris di Jenggawah, Jember. Saat kuliah pernah berkesempatan nginep di rumahnya, ibunya sedang ada garapan seragam sekolah yang bertumpuk-tumpuk hingga kursi-kursi ruang tamunya penuh. Sebagian besar sekolah-sekolah di daerahnya mempercayakan jahitan seragam kepada beliau, karena memang jahitannya senyaman itu. Nyaman banget malah. Pas. Jahitan rapi. Itulah alasannya aku yang walaupun tinggal di Lumajang, rela banget jahit baju jauh-jauh ke Janggawah, Jember.

Btw, walaupun Famel di Jember dan kita sama-sama alumni IAIN Jember (sekarang sudah alih status UIN) Saya kenal Famel sejak di Malang, adik Tingkat saat nyantri di pesantren Asy-Syadzily. Saat di pesantren, famel memang kerap mengenakan baju yang lucu-lucu. Awalnya saya pikir itu adalah brand-brand matahari seperti Nevada, Triset, St. Yves, karena tipe-tipe baju katun casual tapi tampak kokoh gitu. Diksi apa ya untuk menggantikan kata kokoh di sini, yang saya maksud itu sejenis ‘antep’ dalam bahasa Madura. Wkwkkwkk.

Baju Famel yang paling saya ingat sampai sekarang saat di pesantren adalah gamis dengan bagian atas berwarna kuning agak oranye, warna fire menurut google. Dan bawahan bunga-bunga dominasi kuning dan oranye. Awalnya saya tidak terlalu notice, pas ditahun terakhir, saya sempat sekamar sama Famel (di kamar pojok itu kan, Mel? Yang sama Mbak Fariq dan Putri kalau nggak salah ya?) saya nanya, kok baju kamu lucu-lucu, beli dimana? Dijawabnya, “bikin sendiri, Mbak, ibuku yang jahit.” Seketika aku langsung jatuh hati sama si ibu walaupun aku tidak tahu rupa ibunya. Hehehe.

Ndilallah, saat saya lanjut kuliah di Jember, pas semester 4, ada saudara yang juga mau kuliah, uda keterima tinggal urus daftar ulang. Jaman itu urus-urus kuliah belum serba online seperti serkarang, setor berkas, urus-urus rekening yang sekaligus menjadi kartu mahasiswa, ukur jas almamater, semua dilakukan offline di aula depan rektorat. Nah, tiba-tiba disapa Famel, tertanya anak bocil uda lulus SMA dan juga keterima di IAIN. Oh, senangnya! Kami langsung bertukar kontak.

Awal-awal saya lupa kalau ibu Famel penjahit. Saya sempat bikin gamis di salah satu penjahit sekitar kampus, pas uda jadi, cingkrang dong, alias kependekan. Akhirnya si baju ndak pernah kepakai. Pas suatu hari dapat hadiah kain dari Ibu pengasuh pesantren untuk para pengurus, akhirnya saya ingat Famel, kami ketemuan di kampus untuk serah terima kain plus contoh baju milik mbak-mbak pondok yang saya sukai modelnya. Jadi ndak perlu ukur-ukur lagi. Pas sudah jadi, bentuknya jadi sama persis dong dengan contoh. Yang paling penting, nyaman sekali dipakai. Bagian bahu sangat simetris (katanya ibu saya kalau mau tahu kualitas jahitan bagus atau tidak, lihat pagian bahunya. Kalau nyaman dan pas dipakai, berarti penjahitnya pro)

Berikutnya, saat kami kembali mendapatkan jatah kain pengurus, saya mengusulkan kepada teman-teman untuk menjahit ke ibunya Famel saja, dengan menunjukkan baju saya yang hasil jahitan sebelumnya, teman-teman lansung setuju. Dan terharunya lagi, kami para santri sekaligus mahasiswa yang ruang geraknya sangat terbatas--dilarang membawa motor--sementara rumah Famel berjarak dua kecamatan dari kampus, tidak ada angkot kuning yang bisa membawa kami ke rumahnya untuk ukur-ukur. Saat disampaikan kendalanya, ternyata Famel dan ibunya siap ke pondok untuk mengukur langsung badan kami. Huhu.

Pun beliau sangat profesional sekali, menanyakan kapan jadwal kami kosong, karena faham banget kalau mahasiswa yang nyantri banyak sekali kegiatan. Siang ngampus, malam ngaji. Akhirnya disepakatilah malam usai deresan. Pada waktu yang telah disepakati, Famel datang bersama ibu plus meteran jahit. Terharu sekali saat salim, tangan beliau anyep terkena angin malam karena motoran. (aku ingat banget ini, Mel). Pas seragamnya uda jadi, semua suka, semua senang, sesuai ekspektasi :3 banyak yang mengira kami beli jadi.

Setelahnya saya lama tidak lagi beli-beli kain, memang jarang banget beli baju kan? Hingga akhirnya sepulang dari KKN di Jayapura, saya dihadiahi dua kain batik Papua oleh teman-teman, yang satu bermotif Tifa, panah dan busur, satunya lagi bermotif Komoro khas suku Papua. Akhirnya saya kembali menghubungi Famel untuk menjahitkan keduanya. Yang bermotif Tifa saya minta untuk dimodel sebagaimana gamis saat pertama kali mendapatkan jatah kain pengurus santri. Pas selesai, Famel minta maaf karena posisi motif kain depan belakang tidak sama menghadapnya (salah satu sisi entah depan atau belakang, panahnya menghadap ke atas) agar kain cukup dan bagian lengan tetap simetris katanya. Sungguh sangat solutif, padahal perbedaan motif sebenarnya tidak kentara.

 Motif Komoro saya minta samakan dengan blouse-nya Famel, dulu saat Famel memakai blouse biru pucat itu ke kampus, saya langsung suka modelnya. Walaupun dijahitnya tidak dalam waktu bersamaan, karena budget buat ongkos jahit saat itu masih terbatas (wkwkwkk, maklumlah masih mahasiwa) tapi keduanya oke, tidak mengecewakan. Bahkan masih menjadi baju favorit saya saat melanjutkan kuliah di Jogja. Nyaman banget dipakainya ya Allah….

Menjahit kain Papua adalah saat-saat akhir saya kuliah, saya tak lagi jahit-jahit kain ke Famel. Padahal pada suatu waktu, saat sudah lulus, saya sempat menginap di rumah Famel. Famel sendiri yang menjemput ke Curah Kates saat saya ada kepentingan ke RTQ Curah Kates. Mumpung nginap, sekalian saya minta ukur buat gamis. Sebenarnya sejak lama ingin membuat gamis berbahan Balotelli (2018 itu marak banget dijual gamis berbahan Balotelli) karena kalau beli langsung di toko-toko, rerata modelnya roknya lebar, sementara saya tidak suka dengan model rok yang lebarnya kebangetan. Ribet rasanya. Saya buatlah design sendiri, ukur dan beli kain kombinasi berdasarkan hasil ukuran ibu Famel. Dan akhirnya jadilah baju favorit saya yang hingga saat ini masih kerap dipakai. Hehehe.

 Semenjak lanjut ke studi ke Jogja, sudah pasti hubungan jahit menjahit dengan Famel terputus. Tau-tau Famel bikin IG story Žena Fashion dengan video epic baju-baju beragam model, ada gamis bahan brukat, aneka overall dengan warna-warna pastel, aneka blouse yang rasanya uda kayak foto video di butik. Saya replay story-nya, bertanya baju-baju di mana itu? ternyata hasil jahitannya dia. Bahkan sekarang tinggal pesan dan ukur, kainnya dia yang carikan. Waahh semakin jatuh hati, karena selera warna Famel bagus, bisa dipastikan kombinasi warna yang dibuatnya juga bagus. Sebagaimana yang saya bilang, model dan warna-warna baju jahitannya kek produk Matahari. Warna soft, casual tapi kokoh gitu.

Entah kenapa awal tahun lalu saya pengen banget punya baju warna navy dengan motif pink. Saat ada kesempatan ke Jember saya cari-carilah ke toko kain. Dapat. Walaupun sebenarnya saya kurang suka motifnya, tapi tak apa, karena hanya itu navy pink yang saya temukan, minimal sudah mendekati keinginan saya. Kembali saya terhubung pada Famel dan walaupun sudah mengatur jadwal untuk datang langsung ke rumahnya, kesempatan itu masih belum ada. Padahal posisi sudah di Mangli, kain plus contoh baju akhirnya dipaketin ke Janggawah. Wkwkwkkkkkk.

Si navy bunga pink pun tiba kemarin, untunglah sebelum dibuka, Famel menjelaskan kalau panjangnya ditambah sekian senti dari ukuran asalnya karena jenis kainnya akan mengerut usai dicuci. Dan benar dong, yang awalnya sangat kedodoran jadi pas ukurannya setelah dicuci. Bersyukur sekali penjahitnya sudah pro. Huhuuu. Sungguh aku sayang kepada Žena dan segala hal tentangnya. Yang butuh jasa jahit profesional, bisa hubungi @zenafashion3 atau owner-nya @famelyaa_ ya gaess!!!

Lebih panjang sekian senti dari Si Batik Tifa. Tapi jadi sama persis setelah dicuci.
Sungguh penjahit yang sangat profesional.

Ditulis pada 23 Maret 2022.