Minggu, 30 Mei 2021

Tentang Tugas Akhir (Part 1)

 

Ihwal tugas akhir ini harus aku catat, setelah mempertimbangkan banyak hal (anaknya memang overthinking kan? Jadi yang dipertimbangkan banyak) wkwkkk.

Pertama, tugas akhir ini menyita banyak sekali fokusku, terhitung sejak awal 2020 hingga Kamis tanggal 27 Mei 2021 kemarin. Setahun setengah kerjaannya galau terus mikirin tesis. Naik turun.

Kedua, selesainya tugas akhir ini meyakinkan diriku bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri yang selama ini selalu berkecil hati bahwa aku salah mengambil jurusan studi (salah jurusan sampe magister kan bikin galau bangets). Ternyata saat aku teguh memegang pendirian, aku  dapat mengenali pattern-ku walaupun dalam kasus salah ngambil jurusan ini.

Ketiga, tidak cukup mengucapkan terima kasih hanya di story WhatsApp dan Instagram kepada banyak pihak yang terlibat dalam proses yang panjang ini. Kepada support system yang banyak sekali, subjek-subjek dalam riset, para guru, dan banyak lagi. Yang keberadaan mereka sangat berarti, sehingga harus dituliskan di tempat yang suatu saat mudah untuk diakses kembali. Blog ini menjadi pilihannya.

Keempat, untuk mengisi blog yang sudah karatan, lama banget nggak nulis. Dulu buat blog pas lulus S1 (postingan pertama pas terakhir di pondok Jember, usai packing bareng Mbak Dudun, kurang dari seminggu setelah sidang) dan hanya berisikan beberapa tulisan hahahihi, setelahnya bener-bener fakum.

Oke, langsung saja. Poin pertama tentang tugas akhir yang menyita banyak waktu itu. Sejak awal memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah berniat menulis tesis dengan riset berbasis lapangan. Alasannya, aku penasaran dengan cara kerja studi al-Qur’an dengan teori sosial, juga karena merasa banget kalau riset pustaka yang kerjanya setiap hari buka buku ini itu, menelaah satu buku ke buku yang lain, berselancar dari J-Store ke Willey, dari maktabah sayamilah ke rak referensi di perpus, dan yang sejenisnya, adalah bukan aku bangeeettt. Jenuh sekali diriku kalau kerja sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain.

Cukuplah Mbak Dudun menjadi saksi bagaimana diriku saat menulis skripsi dengan judul Hermeneutika Subjektivis: Studi atas hermeneutika al-Qur’an Farid Essack- itu. Aku sama sekali tidak menikmati  prosesnya, wajah selalu merengut, wkwkwkkkk. Mood dan emosi yang tidak stabil dan semakin doyan tidur untuk menghindari si skripsi. Duh.. sepurane Mbak Dudun yoooo (^^V) Menyusunnya pun hanya karena ingin menjawab tantangan seorang dosen yang dulu juga menjadi guru MTs. ku yang mengatakan "Jurusan tafsir kui lek nulis skripsi, mengkaji hal sing update, hermeneutika misale." jadilah diriku meng menulis hermeneutika yang kalau dibaca saat ini sungguh tidak jelas maksudnya. Walaupun kemudian dinobatkan sebagai skripsi terbaik saat yudisium, hal itu tak lebih dari sebuah keberuntungan belaka. Beruntung tidak lulus bersama Mas Fahrudin, Ning syarifah dan Ahmad Syaifuddin Amin (maaf menyebut nama tanpa izin ya) Kalau iya, pastilah diriku yang butiran rinso ini hilang dalam sekali kucek. Terima kasih keberuntungan :'))

Keinginan kuat untuk riset lapangan muncul sejak masa akhir S1 dulu, saat fakultas mendatangkan Bapak Ahmad Rafiq, Ph.D. dalam kuliah umum tentang model riset al-Qur’an dan hadits berbasis teori sosial atau disebut dengan corak riset Living Qur’an dan Living Hadist. Dari kuliah setengah hari bersama Pak Rafiq itu, istilah resepsi, transformasi, internalisasi, objektivikasi, eksternalisasi, dan ragam si-si-si yang lainnya aku dengar. Ditambah beliau menunjukkan sebuah tesis mahasiswa bimbingannya yang meneliti tentang tradisi al-Qur’an di daerah pesisir Jawa Timur yang menurut beliau merupakan penelitian living "terniat" yang pernah ada karena berhasil memaparkan bagaimana proses kiai-kiai di Gresik dan Lamongan melahirkan tradisi-tradisi al-Qur’an sekaliber MTQ. Semakin meluap-luaplah keinginanku untuk mendalami riset lapangan al-Qur’an dan Hadist.

Qadarullah, ditakdirkan melanjutkan studi di Kampus tempat bapak Rafiq mengabdi, berharap beliau juga akan menjadi pembimbing tesisku nantinya. Dan ternyata, hingga semester tiga, karena padatnya jadwal beliau di Program Interdiciplener Islamic Studies, beliau tidak memiliki jadwal mengajar di prodi SQH,  minim sekali kemungkinan beliau menjadi pembimbing tesis di prodi kami. Tapi tekadku untuk mengambil riset lapangan masih sebulat bulan purnama. Wkwkkkkkk. Ingat banget pas awal kuliah, saat maktabah darus sunnah merilis buku yang berjudul Ilmu Living Qur’an dan Hadits, aku termasuk bagian yang memesannya pada masa pre-order. Saat datang, antusias membacanya, mencoret-coret dengan stabilo dan pensil, walaupun baru paham maksud bukunya ya baru-baru ini. Wkwkkwkkk. Tapi sekarang sudah lupa lagi ding! :D

Sebelum semester tiga aktif, semester dimana kami harus mempresentasikan dan mengajukan proposal tesis, aku sudah janjian bertemu dengan Mas Fahrudin (sekalian menyambut adek tingkat yang juga melanjutkan kuliah di kampus kami, hallo Umi Wasilah!) senior memiliki banyak problem solving dalam masalah akademik bagi teman-temannya sejak masih di Jember dulu hingga saat ini, wkwkwkkkk. Curhatlah diriku, tentang keinganan risetku, ingin mengangkat tema living yang fokus pada peran perempuan. Niatnya ingin melanjutkan skripsinya kakak tingkat saat di Jember dulu, Mbak Ainul Churriya Almalachim atau biasa kami panggil Mbak Ema, yang meneliti peran Ibu Nyai dalam tradisi Tahfidz. Kata Mas Fahrudin, Althaf temen sekelasnya saat ini juga pernah menuliskan proposal riset dengan tema sejenis saat matkul metodologi penelitian di semester 1.

Akhirnya aku hubungi keduanya, kabar dari Mbak Ema, ternyata skripsinya dia kembangkan sendiri dalam disertasi yang sedang ditulisnya saat ini. Mbak Ema mengirimkan file skripsinya dan menyemangati bahwa ada banyak celah problem dan teori yang bisa dilanjutkan. Antara ingin tertawa dan nangis saat membaca WA-nya, semangatku untuk melanjutkan risetnya sudah tidak membara lagi. Sementara Althaf yang tidak berniat melanjutkan proposalnya, dengan lapangnya memberikan hard copy naskah proposalnya, setelah kami melalui janji-janji jumpa untuk serah terima si naskah tapi waktu tidak pernah tepat, finally dititipkan melalui Mas Fahrudin. Proposal Althaf aku baca untuk melihat garis besar problem, teori dan metodenya. Setelahnya aku simpan, tak pernah lagi aku buka.

Kuliah semester tiga mulai aktif pada pertengahan Februari 2020, dua minggu kemudian, setelah tugas-tugas diberikan, pun dengan tugas proposal tesis yang deadline-nya harus dipresentasikan sebelum UAS, kembali aku janjian dengan mas-mas problem solver itu (wkwkwkkkkk). Bahwa aku tidak lagi mungkin meneruskan riset Mbak Ema karena ia lanjutkan sendiri sebagai tugas doktoralnya di UIN Sunan Ampel. “Apakah Mas Fah ada usulan tema?” tanyaku. Menurutnya, untuk saat ini kalau memang tidak ingin mengambil penelitian pustaka dan turats, baiknya living yang berkenaan dengan al-Qur’an dan local wisdom, atau al-Qur’an dan new media. Untuk local wisdom, Mas Fahruddin menyarankan untuk meneliti sebuah syair berbahasa madura. Ia mengirimkan naskah syairnya kepadaku via WA yang ditulis dalam huruf pegon, katanya, syair itu diupload Bapak Dardum (dosen kami di Jember) di akun FB-nya.

Aku mulai mencari literatur tentang sayair, mengartikan syair yang diberikan Mas Fahrudin kedalam bahasa indonesia, isinya memang banyak terinspirasi dari hadits. Oke, sudah aku temukan garis besarnya, bisa ditarik kepada resepsi estetis hadist dalam syair madura terhadap keutamaan al-Qur’an. Di sisi lain, aku tetap menelaah literatur tentang new media, baik berupa kajian tafsir di youtube, website, dan hal-hal yang berbau Qur’an Hadist dalam dunia digital. Tapi kembali aku putuskan, meneliti dunia digital memang kebaruan dalam dunia tafsir, tapi itu bukan aku. Karena ending-nya aku akan menggali data di depan laptop. Apakah aku akan betah? Membayangkan berlama-lama di depan laptop saja kepalaku jenuh sekali.

Akhirnya, awal Maret aku putuskan pulang ke Lumajang, menelusuri sumber syair itu. Naik turun gunung hingga kedaerah terpencil di Kabupaten sebelah, tentunya diantar babeh, ah.. perjalanan yang sugguh struggle karena kami tidak kenal sorangpun, tapi demi tugas akhir ini, gunungpun aku daki. Bermodal keyakinan “selama kita mau bergerak, Allah pasti memberikan pertolongan,” kami dipertemukan dengan orang baik mengantarkan kami menemui sosok yang kiranya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.  Akhirnya, menurut penuturan seorang tokoh masyarakat, syair tersebut berasal dari daerah Sumber Gayam pulau Madura.

Aku sudah mantap untuk menelusurinya ke Pulau Garam itu, berharap pengarangnya masih sugeng dan berkenan untuk diwawancara. Sebelum melanjutkan penelusuran ke Madura, aku kembali lagi ke Jogja karena masih ada jadwal kuliah. Dan ternyata, pesantren di Sumber Gayam yang melahirkan syair itu dekat dengan rumah saudaranya Dek Ifa, temanku yang sama-sama mengabdi di PPMU. Bahkan ia mau membantu menghubungkanku dengan saudaranya. Alhamdulillah, setidaknya akan ada yang mengarahkan bila jadi riset di pulau yang terhubung dengan jembatan Suramadu itu. Akupun semakin semangat, mencari celah waktu untuk bisa segera observasi sebelum akhirnya menyusun proposal tesis. Yang ada di kepalaku, tesis yang akan aku susun akan berbunyi resepsi estetis masyarakat madura terhadap hadits keutamaan al-Qur’an. untuk problem akademiknya, dipikirkan belakangan saja. Heheheee.

Diluar kendali, situasi berat pun datang, pandemi. Semua rencana observasi ke Madura, failed. Aku kembali ke Lumajang, pun semua teman-teman juga pulang ke kampung halaman. Semua aktivitas kuliah dilakukan secara online, termasuk pembelajaran di PPMU. Dengan berat hati aku mengikhlaskan syair-syair bahasa madura yang sangat filosofis dan menarik itu. Kembali mencari celah untuk riset. Sementara waktu terus berputar, Juni sudah harus mengumpulkan proposal. *pening*

Sebenarnya saat semester 2, aku sudah menyusun proposal penelitian lapangan sebagai tugas matkul Studi Living Qur’an, tentang filantropi, bagaimana orang-orang meresepsi ayat-ayat tentang shadaqah sehingga membuka sekolah, pesantren dengan basis menghafal al-Qur’an secara gratis. Dan mengapa pendidikan menghafal al-Qur’an yang dipilih, bagaimana resepsi mereka terhadap hadits-hadits keutamaan al-Qur’an menggunakan teori yang begitulah-begitulah. Tapi ya kok rasanya flat sekali, pun juga tidak memungkinkan terjun lapangan karena masih pandemi. Kalau kembali dipikir-pikir, sejak awal tertarik melanjutkan risetnya Mbak Ema karena ingin mengangkat power perempuan sebagai topik utama. Sementara filantropi dan syair belum tampak peran-peran perempuan di dalamnya. Hingga last minuts pengumpulan proposal pun, aku masih stuck, belum tau mau riset apa untuk tesis.

Ahaa! Aku teringat pada propsal milik Althaf yang objek risetnya tidak jauh berbeda dengan skripsi Mbak Ema, peran Bu Nyai dalam tradisi tahfidz. Fokus Althaf adalah Bu Nyai di Pesantren al-Munawwir Krapyak, pesantren al-Qur’an tertua di Indonesia. Kurang lebih tiga minggu dari batas akhir pengumpulan proposal, aku mulai mengkaji literatur-literatur yang membahas tentang peranan pesantren Krapyak. Memang telah ada beberapa yang mengkaji peran Bu Nyai kaitannya dengan kesadaran gender, pendidikan gender maupun kesetraan gender di dalamnya, hanya saja peran Nyai dalam tradisi al-Qur’an utamanya transimisi al-Qur’an belum ada yang meneliti, padahal se-indonesia-pun tau kalau Krapyak adalah pesantren al-Qur’an. Dalam proses pencarian problem dan teori, aku menemukan data bahwa pesantren Sunan Pandanaran yang juga terdapat di Jogja memiliki hubungan darah dalam transmisi al-Qur’an karena didirikan oleh salah satu Murid alm. K.H. Munawwir sekaligus juga merupakan menantu beliau (karena menikah dengan salah satu putri beliau) yang hingga saat ini juga memberikan sumbangsih yang besar dalam sanad keilmuan al-Qur’an di Indonesia. Akhirnya, berpijak dari proposal Althaf, aku mulai menyusun proposal tesis dengan fokus peran Bunyai pesantren Krapyak dan Sunan Pandanaran dalam transmisi al-Qur’an di Jawa. Syukurlah, pada detik terakhir deadline pengumpulan proposal. 

Alhamdulillah, keberuntungan juga masih berpihak kepadaku, bersama 7 proposal lain milik teman sekelas dianggap layak untuk diteliti lebih lanjut menjadi tesis dan langsung mendapatkan dosen pembimbing. Aku mendapatkan pembimbing Ibu Nurun Najwah. Walaupun ada rasa senang karena proposal lolos, kabut tebal serasa menghalang pandanganku untuk melangkah kedepan. Bayangkan saja, proposal di-Acc oleh kaprodi tetapi aku belum pernah sama sekali sowan kepada pengasuh kedua pesantren apakah keduanya berkenan untuk diteliti lebih jauh, mengingat pandemi sedang horor-horornya. Aku putuskan kembali ke Jogja sekitar awal bulan Juli, selain tuntutan pengabdian, juga untuk mendapatkan kejelasan izin riset.

Aku akan terus bergerak, semoga Yang Di Atas senantiasa berkenan menurunkan keajaiban disela-sela keyakinan yang kian menipis.

Bersambung