Ihwal tugas akhir ini harus aku catat, setelah mempertimbangkan banyak hal
(anaknya memang overthinking kan? Jadi yang dipertimbangkan banyak) wkwkkk.
Pertama, tugas akhir ini menyita banyak sekali fokusku, terhitung
sejak awal 2020 hingga Kamis tanggal 27 Mei 2021 kemarin. Setahun setengah
kerjaannya galau terus mikirin tesis. Naik turun.
Kedua, selesainya tugas akhir ini meyakinkan diriku bahwa aku bisa
menjadi diriku sendiri yang selama ini selalu berkecil hati bahwa aku salah
mengambil jurusan studi (salah jurusan sampe magister kan bikin galau bangets). Ternyata saat aku teguh memegang pendirian, aku dapat mengenali pattern-ku walaupun dalam kasus salah ngambil jurusan ini.
Ketiga, tidak cukup mengucapkan terima kasih hanya di story
WhatsApp dan Instagram kepada banyak pihak yang terlibat dalam
proses yang panjang ini. Kepada support system yang banyak sekali,
subjek-subjek dalam riset, para guru, dan banyak lagi. Yang keberadaan mereka sangat
berarti, sehingga harus dituliskan di tempat yang suatu saat mudah untuk diakses
kembali. Blog ini menjadi pilihannya.
Keempat, untuk mengisi blog yang sudah karatan, lama banget nggak
nulis. Dulu buat blog pas lulus S1 (postingan pertama pas terakhir di pondok Jember, usai packing bareng Mbak Dudun, kurang dari seminggu setelah sidang)
dan hanya berisikan beberapa tulisan hahahihi, setelahnya bener-bener fakum.
Oke, langsung saja. Poin pertama tentang tugas akhir yang menyita banyak waktu itu.
Sejak awal memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah berniat menulis tesis
dengan riset berbasis lapangan. Alasannya, aku penasaran dengan cara kerja
studi al-Qur’an dengan teori sosial, juga karena merasa banget kalau riset
pustaka yang kerjanya setiap hari buka buku ini itu, menelaah satu buku ke buku
yang lain, berselancar dari J-Store ke Willey, dari maktabah sayamilah ke rak
referensi di perpus, dan yang sejenisnya, adalah bukan aku bangeeettt. Jenuh
sekali diriku kalau kerja sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain.
Cukuplah Mbak Dudun menjadi saksi bagaimana diriku saat menulis
skripsi dengan judul Hermeneutika Subjektivis: Studi atas hermeneutika al-Qur’an
Farid Essack- itu. Aku sama sekali tidak menikmati prosesnya, wajah selalu merengut, wkwkwkkkk.
Mood dan emosi yang tidak stabil dan semakin doyan tidur untuk menghindari si
skripsi. Duh.. sepurane Mbak Dudun yoooo (^^V) Menyusunnya pun hanya karena ingin menjawab tantangan seorang dosen yang dulu juga menjadi guru MTs. ku yang mengatakan "Jurusan tafsir kui lek nulis skripsi, mengkaji hal sing update, hermeneutika misale." jadilah diriku meng menulis hermeneutika yang kalau dibaca saat ini sungguh tidak jelas maksudnya. Walaupun kemudian dinobatkan
sebagai skripsi terbaik saat yudisium, hal itu tak lebih dari sebuah
keberuntungan belaka. Beruntung tidak lulus bersama Mas Fahrudin, Ning syarifah
dan Ahmad Syaifuddin Amin (maaf menyebut nama tanpa izin ya) Kalau iya, pastilah diriku yang butiran rinso ini hilang
dalam sekali kucek. Terima kasih keberuntungan :'))
Keinginan kuat untuk riset lapangan muncul sejak masa akhir S1
dulu, saat fakultas mendatangkan Bapak Ahmad Rafiq, Ph.D. dalam kuliah umum
tentang model riset al-Qur’an dan hadits berbasis teori sosial atau disebut
dengan corak riset Living Qur’an dan Living Hadist. Dari kuliah
setengah hari bersama Pak Rafiq itu, istilah resepsi, transformasi,
internalisasi, objektivikasi, eksternalisasi, dan ragam si-si-si yang lainnya
aku dengar. Ditambah beliau menunjukkan sebuah tesis mahasiswa bimbingannya
yang meneliti tentang tradisi al-Qur’an di daerah pesisir Jawa Timur yang
menurut beliau merupakan penelitian living "terniat" yang pernah ada karena
berhasil memaparkan bagaimana proses kiai-kiai di Gresik dan Lamongan melahirkan
tradisi-tradisi al-Qur’an sekaliber MTQ. Semakin meluap-luaplah keinginanku
untuk mendalami riset lapangan al-Qur’an dan Hadist.
Qadarullah, ditakdirkan melanjutkan studi di Kampus tempat bapak Rafiq
mengabdi, berharap beliau juga akan menjadi pembimbing tesisku nantinya. Dan
ternyata, hingga semester tiga, karena padatnya jadwal beliau di Program Interdiciplener
Islamic Studies, beliau tidak memiliki jadwal mengajar di prodi SQH, minim sekali kemungkinan beliau menjadi
pembimbing tesis di prodi kami. Tapi tekadku untuk mengambil riset lapangan
masih sebulat bulan purnama. Wkwkkkkkk. Ingat banget pas awal kuliah, saat maktabah
darus sunnah merilis buku yang berjudul Ilmu Living Qur’an dan Hadits, aku
termasuk bagian yang memesannya pada masa pre-order. Saat datang,
antusias membacanya, mencoret-coret dengan stabilo dan pensil, walaupun baru
paham maksud bukunya ya baru-baru ini. Wkwkkwkkk. Tapi sekarang sudah lupa lagi
ding! :D
Sebelum semester tiga aktif, semester dimana kami harus
mempresentasikan dan mengajukan proposal tesis, aku sudah janjian bertemu
dengan Mas Fahrudin (sekalian menyambut adek tingkat yang juga melanjutkan kuliah di kampus kami, hallo Umi Wasilah!) senior memiliki banyak problem solving dalam
masalah akademik bagi teman-temannya sejak masih di Jember dulu hingga saat ini, wkwkwkkkk. Curhatlah
diriku, tentang keinganan risetku, ingin mengangkat tema living yang
fokus pada peran perempuan. Niatnya ingin melanjutkan skripsinya kakak tingkat
saat di Jember dulu, Mbak Ainul Churriya Almalachim atau biasa kami panggil
Mbak Ema, yang meneliti peran Ibu Nyai dalam tradisi Tahfidz. Kata Mas
Fahrudin, Althaf temen sekelasnya saat ini juga pernah menuliskan proposal riset dengan
tema sejenis saat matkul metodologi penelitian di semester 1.
Akhirnya aku hubungi keduanya, kabar dari Mbak Ema, ternyata
skripsinya dia kembangkan sendiri dalam disertasi yang sedang ditulisnya saat
ini. Mbak Ema mengirimkan file skripsinya dan menyemangati bahwa ada banyak
celah problem dan teori yang bisa dilanjutkan. Antara ingin tertawa dan nangis
saat membaca WA-nya, semangatku untuk melanjutkan risetnya sudah tidak membara lagi. Sementara
Althaf yang tidak berniat melanjutkan proposalnya, dengan lapangnya memberikan hard
copy naskah proposalnya, setelah kami melalui janji-janji jumpa untuk serah
terima si naskah tapi waktu tidak pernah tepat, finally dititipkan melalui Mas Fahrudin.
Proposal Althaf aku baca untuk melihat garis besar problem, teori dan
metodenya. Setelahnya aku simpan, tak pernah lagi aku buka.
Kuliah semester tiga mulai aktif pada pertengahan Februari 2020,
dua minggu kemudian, setelah tugas-tugas diberikan, pun dengan tugas proposal
tesis yang deadline-nya harus dipresentasikan sebelum UAS, kembali aku janjian
dengan mas-mas problem solver itu (wkwkwkkkkk). Bahwa aku tidak lagi
mungkin meneruskan riset Mbak Ema karena ia lanjutkan sendiri sebagai tugas
doktoralnya di UIN Sunan Ampel. “Apakah Mas Fah ada usulan tema?” tanyaku. Menurutnya,
untuk saat ini kalau memang tidak ingin mengambil penelitian pustaka dan
turats, baiknya living yang berkenaan dengan al-Qur’an dan local wisdom,
atau al-Qur’an dan new media. Untuk local wisdom, Mas Fahruddin menyarankan untuk meneliti sebuah syair berbahasa madura. Ia mengirimkan naskah
syairnya kepadaku via WA yang ditulis dalam huruf pegon, katanya, syair itu
diupload Bapak Dardum (dosen kami di Jember) di akun FB-nya.
Aku mulai mencari literatur tentang sayair, mengartikan syair yang
diberikan Mas Fahrudin kedalam bahasa indonesia, isinya memang banyak
terinspirasi dari hadits. Oke, sudah aku temukan garis besarnya, bisa ditarik
kepada resepsi estetis hadist dalam syair madura terhadap keutamaan al-Qur’an. Di
sisi lain, aku tetap menelaah literatur tentang new media, baik berupa
kajian tafsir di youtube, website, dan hal-hal yang berbau Qur’an
Hadist dalam dunia digital. Tapi kembali aku putuskan, meneliti dunia digital
memang kebaruan dalam dunia tafsir, tapi itu bukan aku. Karena ending-nya
aku akan menggali data di depan laptop. Apakah aku akan betah? Membayangkan
berlama-lama di depan laptop saja kepalaku jenuh sekali.
Akhirnya, awal Maret aku putuskan pulang ke Lumajang, menelusuri
sumber syair itu. Naik turun gunung hingga kedaerah terpencil di Kabupaten
sebelah, tentunya diantar babeh, ah.. perjalanan yang sugguh struggle
karena kami tidak kenal sorangpun, tapi demi tugas akhir ini, gunungpun aku
daki. Bermodal keyakinan “selama kita mau bergerak, Allah pasti memberikan
pertolongan,” kami dipertemukan dengan orang baik mengantarkan kami menemui sosok yang kiranya mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan kami. Akhirnya,
menurut penuturan seorang tokoh masyarakat, syair tersebut berasal dari daerah Sumber
Gayam pulau Madura.
Aku sudah mantap untuk menelusurinya ke Pulau Garam itu, berharap
pengarangnya masih sugeng dan berkenan untuk diwawancara. Sebelum melanjutkan
penelusuran ke Madura, aku kembali lagi ke Jogja karena masih ada jadwal kuliah.
Dan ternyata, pesantren di Sumber Gayam yang melahirkan syair itu dekat dengan
rumah saudaranya Dek Ifa, temanku yang sama-sama mengabdi di PPMU. Bahkan ia
mau membantu menghubungkanku dengan saudaranya. Alhamdulillah, setidaknya akan
ada yang mengarahkan bila jadi riset di pulau yang terhubung dengan jembatan
Suramadu itu. Akupun semakin semangat, mencari celah waktu untuk bisa segera
observasi sebelum akhirnya menyusun proposal tesis. Yang ada di kepalaku, tesis
yang akan aku susun akan berbunyi resepsi estetis masyarakat madura terhadap
hadits keutamaan al-Qur’an. untuk problem akademiknya, dipikirkan belakangan
saja. Heheheee.
Diluar kendali, situasi berat pun datang, pandemi. Semua rencana observasi
ke Madura, failed. Aku kembali ke Lumajang, pun semua teman-teman juga
pulang ke kampung halaman. Semua aktivitas kuliah dilakukan secara online,
termasuk pembelajaran di PPMU. Dengan berat hati aku mengikhlaskan syair-syair
bahasa madura yang sangat filosofis dan menarik itu. Kembali mencari celah
untuk riset. Sementara waktu terus berputar, Juni sudah harus mengumpulkan
proposal. *pening*
Sebenarnya saat semester 2, aku sudah menyusun proposal penelitian
lapangan sebagai tugas matkul Studi Living Qur’an, tentang filantropi,
bagaimana orang-orang meresepsi ayat-ayat tentang shadaqah sehingga membuka
sekolah, pesantren dengan basis menghafal al-Qur’an secara gratis. Dan mengapa
pendidikan menghafal al-Qur’an yang dipilih, bagaimana resepsi mereka terhadap
hadits-hadits keutamaan al-Qur’an menggunakan teori yang begitulah-begitulah. Tapi
ya kok rasanya flat sekali, pun juga tidak memungkinkan terjun lapangan
karena masih pandemi. Kalau kembali dipikir-pikir, sejak awal tertarik
melanjutkan risetnya Mbak Ema karena ingin mengangkat power perempuan
sebagai topik utama. Sementara filantropi dan syair belum tampak peran-peran
perempuan di dalamnya. Hingga last minuts pengumpulan proposal pun, aku
masih stuck, belum tau mau riset apa untuk tesis.
Ahaa! Aku teringat pada propsal milik Althaf yang objek risetnya
tidak jauh berbeda dengan skripsi Mbak Ema, peran Bu Nyai dalam tradisi
tahfidz. Fokus Althaf adalah Bu Nyai di Pesantren al-Munawwir Krapyak,
pesantren al-Qur’an tertua di Indonesia. Kurang lebih tiga minggu dari batas
akhir pengumpulan proposal, aku mulai mengkaji literatur-literatur yang
membahas tentang peranan pesantren Krapyak. Memang telah ada beberapa yang
mengkaji peran Bu Nyai kaitannya dengan kesadaran gender, pendidikan gender
maupun kesetraan gender di dalamnya, hanya saja peran Nyai dalam tradisi al-Qur’an
utamanya transimisi al-Qur’an belum ada yang meneliti, padahal se-indonesia-pun
tau kalau Krapyak adalah pesantren al-Qur’an. Dalam proses pencarian problem
dan teori, aku menemukan data bahwa pesantren Sunan Pandanaran yang juga
terdapat di Jogja memiliki hubungan darah dalam transmisi al-Qur’an karena
didirikan oleh salah satu Murid alm. K.H. Munawwir sekaligus juga merupakan
menantu beliau (karena menikah dengan salah satu putri beliau) yang hingga saat
ini juga memberikan sumbangsih yang besar dalam sanad keilmuan al-Qur’an di
Indonesia. Akhirnya, berpijak dari proposal Althaf, aku mulai menyusun proposal
tesis dengan fokus peran Bunyai pesantren Krapyak dan Sunan Pandanaran dalam
transmisi al-Qur’an di Jawa. Syukurlah, pada detik terakhir deadline pengumpulan
proposal.
Alhamdulillah, keberuntungan juga masih berpihak kepadaku, bersama 7
proposal lain milik teman sekelas dianggap layak untuk diteliti lebih lanjut
menjadi tesis dan langsung mendapatkan dosen pembimbing. Aku mendapatkan
pembimbing Ibu Nurun Najwah. Walaupun ada rasa senang karena proposal lolos,
kabut tebal serasa menghalang pandanganku untuk melangkah kedepan. Bayangkan saja,
proposal di-Acc oleh kaprodi tetapi aku belum pernah sama sekali sowan
kepada pengasuh kedua pesantren apakah keduanya berkenan untuk diteliti lebih
jauh, mengingat pandemi sedang horor-horornya. Aku putuskan kembali ke Jogja
sekitar awal bulan Juli, selain tuntutan pengabdian, juga untuk mendapatkan
kejelasan izin riset.
Aku akan terus bergerak, semoga Yang Di Atas senantiasa berkenan menurunkan keajaiban disela-sela keyakinan yang kian menipis.
Bersambung