Jumat, 25 Juni 2021

Suara Saksi Bisu (Cerpen)

 

Tidak masalah bagiku saat dinginnya penghujan menjadikan badanku sebeku es batu, juga saat kemarau membaluri tubuhku dengan lebih banyak debu. Bukankah debu dapat menyucikan? Aku tau itu, karena dulu, tuanku sering melakukannya. Saat kulit keriputnya tidak lagi kuasa menyentuh air.

Itu dulu. Sekarang, debu semakin menebal, aku semakin pudar, juga karat yang mulai menggerogoti sebagian besar badan besiku. Sementara badan kayuku, plitur yang melapisinya sudah mengelupas dimana-mana. Tidak lagi ada yang menyentuhku. Tuan-tuan muda masih sangat baik kepadaku, tidak menjualku ke tempat barang bekas. Tapi, kini aku terasing di sudut ruangan besar ini. Tak lagi dapat menyapa mentari pagi dan bermandikan cahayanya yang menghangatkan.

“Jangan dipindah kemana-mana mesin jahit itu, letakkan saja di sana, itu kesayangan ibu” ucap tuan muda pertamaku, dengan suara parau. Sepeninggal tuanku.

Sejak awal, aku dan teman-temanku di belahan dunia telah menyadari cepatnya perkembangan teknologi, cepat atau lambat, alat-alat manual akan digantikan dengan yang otomatis. Juga dengan bentuk yang lebih elegan dan dinamis. Aku senantiasa menyiapkan dada selapang-lapangnya, bila suatu saat harus dideportasi dari tempat hangat ini, dan digantikan dengan mesin jahit yang lebih canggih. Toh, demi kebaikan tuanku, agar ia lebih mudah untuk berkarya.

Lapangnya dadaku melebihi lapangnya lapangan bola di ujung jalan yang aku lalui saat pertama kali datang, aku melihatnya langsung dari atas pick up tua yang mengangkutku, sangat luas. Juga melebihi luasnya tujuh samudra, yang hanya 361,1 juta km2. Aku mengetahuinya saat nguping tuan muda kecil belajar ilmu alam. Walaupun aku hanya memiliki satu telinga yang juga berfungsi sebagai penggerak bagian lain tubuhku, fungsi untuk mendengar masih sangat baik hingga sekarang.

Yang menjadikan menyusutnya kelapangan hatiku tidak lain karena semakin banyak waktu yang aku lalui tanpa tuanku, mengenang semua kehangatan bersamanya, menyaksikan realitas perubahan kehidupan penghuni rumah yang begitu cepat, bagaikan terkepung cuaca ekstrim, sangat dingin, tak ada yang mempedulikan keberadaanku lagi.

Ah.. andaikan bisa berlari, aku memilih pergi dari sudut lembab ini. Tapi bila ku kenang lagi segala tentang tuanku, aku tetap ingin bertahan, biarlah tubuhku lebur bersama waktu.

Saat aku datang, dia adalah sosok wanita muda, 19 tahun dengan dua putra menggemaskan, masing-masing delapan dan lima tahun. Dinikahkan oleh orang tuanya yang kaya raya dengan pemuda kaya raya pula, sama-sama tuan tanah, saat usianya masih 12 tahun. Tahun enam puluhan, dimana perempuan biasa dinikahkan umur sekian.

Sebagaimana pepatah lama, harta tidak menjamin kebahagiaan, itulah yang dialami tuanku yang masih muda. Suaminya menikah lagi, menikah lagi, menikah lagi. Tanpa menceraikannya. Beruntunglah dia sosok yang rajin dan tangguh sejak belia. Saat masih bersekolah di SR, ia mengayuh sepeda jengki birunya sejauh 20 km setiap hari sepulang sekolah, total pulang pergi 40 km, guna belajar menjahit ke pelosok desa di kecamatan sebelah. Aku tau cerita ini dari teman-temanku yang menghuni tempat kursus itu.

Dan ketahuilah, saat suaminya, Si Kumis Tebal pergi pada suatu hari dan tak pernah kembali, ia menjual kalung emas permata hijau tua –harta berharga- peninggalan ibunya untuk membeliku. Sisa uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tuanku bersemangat membuka jasa menjahit. Lambat laun ia semakin terkenal karena tidak pernah mengecewakan, baik kualitas jahitannya maupun ketepatan waktunya.

Itulah yang memotivasiku untuk terus bergerak dan tidak sakit-sakitan. Sebisa mungkin aku tetap berusaha menemaninya, memastikan anggota tubuhku baik-baik saja. Sering tuanku memujiku, katanya aku mesin jahit yang hebat, tidak pernah rusak. Aku semakin bersemangat agar awet muda dan dapat terus hidup bersamanya.

Tapi, taukah kau, Tuanku?

Justru semangat kakimu saat menekan injakan pedal persegi agar aku bergerak adalah charger utama yang menyalurkan kehebatan itu. Aku harus terus bergerak agar kau dan kedua anakmu –dua tuan muda- bisa makan dari upah yang pelanggan berikan, juga untuk biaya sekolah kedua tuan muda. Sehingga kau tidak perlu bersusah-susah merawatku. Aku tau diri, karena bila aku sakit, kau harus minta bantuan tukang untuk pengobatan dan memperbaikiku, hal itu memerlukan ongkos. Andai saja lelaki berkumis tebal itu tetap di sisimu, mungkin aku bisa bermanja-manja, barang satu atau dua hari untuk tidak bergerak, dan kau bisa beristirahat. Dia bisa mengobatiku dengan gratis.

Aku tidak setega itu untuk melakukannya padamu. Bila tuanku saja tangguh menaggung beban hidup, maka aku berjanji akan menjadi mesih jahit yang lebih tangguh.

Aku ingat sekali kejadian yang membuatku ingin memutuskan tali penghubung telingaku dengan roda besar dekat injakan pengayuh agar aku tidak dapat bergerak. Tapi aku tidak boleh egois, hal itu akan lebih menyusahkan tuanku untuk membeli tali pengganti yang hanya dijual di kota, jaraknya hampir 50 km, 100 km jarak untuk pulang dan pergi. Saat itu, aku berusaha melepaskan segala energi negatif yang menyelimutiku.

Si Kumis Tebal datang pagi-pagi sekali dengan wajah datar dan pakaian lusuh. Dan lihatlah, dia membawa wanita jelita berpostur mungil. Tingginya tidak lebih dari bawah telinga tuanku yang semampai, juga hanya sepundak Si Kumis.

Aku melihat tuanku tertegun, lalu segera menguasai diri dengan menyalami keduanya, membuatkan kopi dengan sisa-sisa gula yang menempel pada dinding toples kusam, memasak nasi dengan bayam kuah bening yang dipetik dari halaman belakang, ditambah sambal terasi untuk sarapan keduanya, kemudian mempersilahkan Si Jelita beristirahat di lincak ruang tengah. Lincak satu-satunya tempat tuanku berkumpul dengan kedua tuan mudaku. Sementara Si Kumis Tebal, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku malas memandangnya. Lelaki tidak tau diri. Tidak taukah dia bahwa sebenarnya kelakuannya membuat dada tuanku sesak? Andaikan mereka semua dapat mendengarku, rumah ini telah penuh umpatanku kepadanya sejak ujung kumisnya tampak di mataku.

Barulah aku terdiam, saat tuanku menarik tangan Si Jelita dan merentangkan meteran untuk mengukur tubuhnya. Ya Tuhan, tuanku hendak membuatkan dia baju. Dikeluarkannya kain sutera hijau muda pemberian adik semata wayangnya yang saat itu telah sukses menjadi pegawai negeri, Kepala Sekolah Dasar di kota. Gantian aku yang tertegun. Akupun sadar, kalau tuanku senantiasa bersabar untuk membahagiakan orang lain, bahkan yang telah menyakitinya, kenapa aku tidak meniru dirinya? Hatinya sangat jernih, sebening embun. Aku berhenti mengumpat dan tidak pernah lagi melakukannya hingga detik ini.

“Ini untuk baju gantimu, maaf tidak bisa memberimu lebih, hanya ini yang aku miliki, terimalah” Tuanku menyerahkan kresek hitam, berisikan kebaya kain sutera jahitannya, pada malam hari saat Si Jelita dan Kumis Tebal hendak meninggalkan rumah. Oh Tuhan, betapa bening hatinya.

Aku melihat Si Jelita tersenyum lalu merengkuh tuanku, air bening menetes dari ujung matanya, “Terima kasih, Mbak”

Sementara Si Kumis Tebal menunggu dan mematung di ujung halaman, hanya memperhatikan siluet kedua wanitanya dari cahaya lampu teplok dalam rumah, tanpa kata.

“Hati-hati” Tuanku berucap lirih. Kedua tamunya berlalu, menghilang ditelan jalanan kampung yang semakin jauh semakin gelap.

Kembali tuanku menjalani hari-harinya seperti biasa. membersihkan rumah, termasuk membersihkanku, marawat kedua tuan mudaku yang kini semakin tumbuh dewasa dan tampan, juga menjahit aneka pakaian bersamaku. Bahkan saat itu, sering kami menerima pesanan seragam sekolah dan seragam guru. Senyum tuanku semakin lebar, tak tampak bahwa di hatinya ada luka yang menganga.

Kalian tau? Hal-hal yang membuatku semakin tampak awet muda –selain perawatan oleh tuanku- sehingga tetap kinclong walau telah puluhan tahun bersamanya? adalah pengaruh positif dari kebaikan tuanku. Ia sering membuat baju-baju panjang lengkap dengan selendang panjang untuk para kerabat, juga untuk kedua menantunya, gratis. Tuanku juga sangat kreatif membuat aneka kombinasi baju-baju lucu untuk anak-anak dari sisa kain para pelanggan, yang diberikan kepadanya dengan sukarela. Kemudian hasilnya diberikan kepada para tetangga yang senasib dengannya, di bawah garis sejahtera. Juga tak segan ia buatkan seragam sekolah untuk para anak tetangga itu. Bila sedang sepi garapan, ia akan membuat keset, sprei, sarung bantal, atau apapun yang membuat kain perca lebih bermanfaat.

Saat cucu pertamanya lahir, semakin semangat ia membuatkan baju-baju dan kerudung anak dengan model yang dicontohnya dari majalah-majalah bekas. Wajahnya semakin cerah, senandungnya juga semakin beragam, dari lagu Rayuan Pulau Kelapa hingga Elegi Esok Pagi-nya Ebiet G. Ade. Sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, kalau akhirnya aku akan merasakan kebekuan di sudut ruangan ini. Tak pernah seharipun tidak ia lalui bersamaku.

Aku juga menjadi saksi bisu kembalinya cinta Si Kumis Tebal kepada tuanku. Oh Tuhan, benar memang, kesabaran mampu meratakan gunung-gunung, juga mampu melunakkan hati sekeras batu. Rumah ini pun kembali dihuni pasangan yang telah terpisah 15 tahun. Hangatnya melebihi cahaya mentari pagi yang selama ini menyapaku di balik jendela. Aku senang, tuanku kembali menerimanya tanpa syarat. Memaafkan begitu saja seluruh khilafnya. Aku semakin yakin, hatinya memang sebening embun.

“Aku sudah mengerti arti cinta sejati, saat seseorang benar-benar merelakan dirinya untuk orang lain. Tak kutemukan yang seperti dirimu. Aku menyesal. Maafkan aku dan terimalah aku kembali” Ucap Si Kumis Tebal saat kedatangannya pada suatu malam.

Enam tahun selanjutnya aku banar-benar bekerja dengan hati lapang. Rumah mungil tidak lagi suram, setelah Tuan Kumis Tebal –aku mulai menghormatinya dengan panggilan tuan- merenovasi rumah dengan jendela-jendela lebar, menaruhku pada salah satu sisinya agar tuanku tidak kesulitan saat bekerja. Rumah diperluas dengan tembok kokoh, bukan lagi anyaman bambu. Para tuan muda memutuskan pergi untuk mengukir kisah hidup keluarga kecil mereka sendiri. Kehidupan berjalan dengan indahnya, penuh bunga-bunga.

Pada tahun ketujuh dari tahun penuh bunga itu, tuanku terbaring lemah. Aku mendengar dari dokter yang memeriksanya bahwa ada sesuatu di dalam perutnya, bagian bawah perutnya mengeras. Tuan Kumis Tebal dengan setia merawatnya, untuk menebus dosa-dosanya yang telah tega meninggalkan sang istri begitu lama.

Dua belas purnama berlalu tanpa kemajuan berarti, berbagai pengobatan telah dilakukan, hingga penanganan di rumah sakit modern di kota seberang. Tetap saja, kondisinya memburuk tanpa kemajuan. Oh Tuhan, akhirnya Engkau benar-benar mengambilnya. Aku mulai merasakan dingin menjalar dari ujung kaki-kakiku.

Sekarang tinggal Tuan Kumis Tebal sendiri, dia menggeleng lemah saat kedua tuan muda menawari pilihan, akan tinggal bersama siapa dia, tuan berkumis boleh memilih tinggal dengan siapapun. Dia tetap menggeleng, “Biarlah aku membayar kesepian ibu kalian dulu. Aku malu, tidak pernah merasakan beratnya merawat dan membesarkan kalian.”

Lelah memohon, kedua tuan muda pasrah, tetapi secara rutin bergantian menjenguk sang ayah. Tuanku berhasil menanamkan ilmu hati sebening embun itu, tidak ada dendam antara mereka. Lamunanku buyar, tuan muda pertama dengan keluarga kecilnya datang.

“Kamu pilih yang mana, Nay?” Aliya, cucu pertama tuanku bertanya pada adiknya. “Warna hitam ada nggak, Kak?”

“Nggak ada, tinggal grey dan tosca” Aku melihat telunjuk Naily, adik Aliya, lincah menyentuh permukaan benda yang disebut gawai itu, memilih baju via online, mereka menyebut-nyebut outer.

“Coba di toko lain, kak.” Lanjutnya.

Bagaimana nyaliku tidak semakin menciut? Aku berada di sini dengan sejuta kenangan hangat. Sekarang, lambat-laun seluruh kehangatan itu memuai, tersisa beku. Tuan muda dan cucu-cucu tuanku lebih memilih cara praktis untuk mendapatkan pakaian mereka, tinggal sentuh layar ajaib itu, dua-tiga hari kemudian, datang kurir mengantarkan pesanan mereka. Secepat ini kehidupan berubah, praktis dan cepat. Aku semakin tak berarti.

“Muat nggak mobil kita, Mas?” Tuan menantu, istri dari tuan muda pertama menyentuh telingaku. Aku kaget, apakah aku akan dirongsokkan? Barangkali inilah jawaban dari kebekuan yang aku rasakan selama ini. Aku akan dikeluarkan dan disingkirkan.

“Muat kok, pas kayaknya.” Tuan muda tersenyum mengamatiku. Perasaanku campur aduk. Mungkin inilah saatnya untuk secara utuh melupakan kenangan hangat dengan tuanku. Ia lanjut mengambil kemoceng dan membersihkan tubuhku, geli. Lama tidak ada yang melakukannya. Kalau saja aku punya hidung, pastilah aku sudah bersin-bersin.

“Mau dibawa kemana mesin jahitnya, Ma?” Naily mendekat.

“Mau Mama bawa pulang. Sayang kan, kalau dibiarkan disini. Gini-gini, Mama lulusan SMK tata busana lho.. nanti Mama bikinkan outer lucu-lucu dan keren deh” Aku menghela nafas, tuan menantu tersenyum lebar, menampakkan kedua lesung pipinya.

Terimakasih Tuhan, kurasai hangat kembali menjalari tubuhku.


Kamis, 03 Juni 2021

Tentang Tugas Akhir (Part 4)

 

Finally, ini adalah drama terakhir sebelum munaqasyah berlangsung.

Antara antusias dan cemas, aku menunggu surat undangan munaqasyah dari pihak akademik. Menurut teman-teman yang sudah lebih dahulu ujian, biasanya antara 5-7 hari usai setor berkas, Ibu Tuti, staf akademik akan memberikan surat undangan. Tapi hingga tanggal 26 Mei, yang artinya sudah lebih dari seminggu aku mengumpulkan berkas, belum ada surat dari beliau. Aku mencoba santai, menikmati har-harii tanpa beban tesis. *pura-pura* 

Hingga akhirnya, aku yang terbisa tidur maksimal pukul 9 itupun dikagetkan dengan pesan di yang menumpuk di WA saat bangun, sekitar pukul setengah 3 dini hari. Ada beberpa inbox yang isinya, memberi support berupa kata-kata semngat, semoga sukses, semoga lancar, dan sebagainya. Feeling-ku auto not good. Dan benar ternyata, saat aku membuka WAG prodi, sudah ada link zoom yang tertera namaku, judul tesisku lengkap dengan tanggal dan jam. Yassalam.. siang itu juga, 27 Mei aku munaqasyah pukul 11 siang. Owowowowowwwww. Auto nge-WA orang rumah untuk minta do’a.

Ternyata Ibu Tuti juga mengirimkan link via chatpri. Langsung aku balas, “terima kasih, bu. Wah.. semendadak ini kah bu? Saya baru sadar kalau hari ini.” dengan tegas beliau membalas “Harusnya klu udah daftar munaqasyah aktif liat jadwal di SIA. Klu tatap muka trs gmn ga ada zoom.” Jleb. Oke fix, aku teledor, again. Aku hanya menjawab, “baik, Bu”. Hmmm.. bukannya tidak mau mengecek SIA, karena memang tidak berpengalaman melakukan registrasi online di kampusku yang dulu. Plus belajar dari teman-teman yang lebih dahulu munaqasyah, mereka mendapatkan surat dari fakultas jauh-jauh hari. Aku sama sekali abai dengan keberadaan SIA :'))

Oke, mencoba tenang. Bersyukur jadwalnya masih pukul 11, setidaknya masih ada waktu untuk latihan ngomong dan memprtbaiki PPt yang sejak awal drama sekali itu. Aku membuatnya benar-benar hanya formalitas sebagai syarat daftar sidang, dengan bentuk yang sama sekali tidak aesthetic. Polos-los, putih. Sebangun tidur aku sudah WA Muads dan minta tolong untuk mau menjadi audiens latihan presentasi. Beruntunglah setengah tiga itu ybs belum tidur. Dia oke dan menyarankanku mengajak teman-teman yang lain. Bukannya tidak mau, dalam situasi yang mepet aku harus tetap menjaga fokusku, bila banyak audiens maka akan ada banyak masukan nantinya dan hal itu akan membuatku buyar. Cukup Muads yang kita semua tau kalau dia sering out of the box sehingga bisa melihat hal-hal yang sering luput dari perhatian. Kita janjian pukul lapan via google meet. Aku segera membuat link meet.

Aku melanjutkan aktivitas rutinku dengan mencoba tenang. Usai jamaah subuh segera mendampingi adek-adek asrama ujian, untunglah pukul 6 sudah selesai, padahal bisanya pukul setengah tujuh. Aku lanjut bersih diri dan mengenakan kemeja putih, dredeg rasanya. Aku rapalkan doa-doa terbaik usai Dhuha, dalem pasrah Gusti, paringi lancar. Setelahnya aku me-WA semua ibu-ibu di Semarang, memohon doa bahwa siang ini akan ujian, alhamdulillah, the power of ibu-ibu itu menularkan energi yang memberikan ketenangan dan vibe positif bahwa aku bisa. Dengan dada yang tak henti bergemuruh, aku mulai mengedit PPt.ku. Hingga pukul delapan, aku mulai simulasi. Beruntung riset Muads juga living dengan penguji yang sama, Pak Agung Danarto. Muads memberikan masukan apa saja yang harus aku perbaiki. Sekiatar 40 menit kami discuss, aku segera memperbaiki PPt sesuai masukannya, dan syukurlah, ada teman baik yang membantu mendesain PPt.nya. Alhamdulillah. Allah Maha baik.

Selanjutnya aku mencoba presentasi sekali lagi untuk meminimalisir gugup. Cukuplah, pasrah. Hingga saat ini, bersyukur sekali ujiannya siang. Kalau misalnya pukul 8, sudah dapat dipastikan aku tidak bisa ngomong dengan jelas dan tidak bisa menjawab pertanyaan penguji saking tidak siapnya. Ya Rahman Ya Rahim, terima kasih banyak.

Aku juga menghubungi Ibu Nurun, mengbarkan kalau aku gugup dan sedang diare sejak kemarin. Beliau mengatakan yang penting sudah dipersiapkan, semoga dilancarkan. Aku sedikit tenang. Juga telepon dari Mbah Ninik, uti yang senantiasa ada bila cucu-cucunya ujian. Beliau memiliki caranya sendiri untuk mensupport kami sehingga kami senantiasa merasa tenang.

Kurang lebih setengah 11, aku telah siap. Memastikan diriku dalam keadaan baik-baik saja. Untuk mengusir nervous, aku menghampiri teman-teman di kantor PPMU yang baru usai melaksanakan rapat (harusnya pagi itu aku rapat dan ngobrol seru dengan mereka, huhuuu) Setelah sedikit cuap-cuap dan minta doa, pukul 11 kurang 15 menit, aku join, status zoom masih waiting, tiba-tiba eror sepuluh menit setelahnya. Entah apa yang aku klik saat itu, akhirnya bisa join, Pak Agung sudah join, Ibu Nurun dan Ibu Dian belum. Kami menunggu, hingga akhirnya Pak Agung menyampaikan kalau di rumah Ibu Nurun sedang mati listrik, dan karena Ibu nurun ketua ujian plus pembimbing, tidak mungkin dilaksanakan munaqasyah tanpa kehadiran beliau, beliau mengusulkan ditunda sore atau malam. Aku mengiyakan walaupun berat karena sore ada tanggungan menemani adek-adek asrama ujian. Huhuuu. Tapi tak apa, barangkali sorelah waktu terbaik. Teman-teman yang join mulai leave, pun dengan Pak Agung. Aku juga. Selang satu detik kemudian, ibu Nurun kembali kirim pesan di WA, “Skrng, brsn hdp” wah.. benar-benar senam jantung gaes, naik turun beat jantungku.

Aku lekas join, setelah ibu dian juga join, ujianpun dimulai, lima menit waktuku untuk presentasi, dan sebelum kesimpulan dari rumusan masalah ketiga diparparkan lengkap, waktu habis. Aku menghembuskan nafas. Besiap dibrondong pertanyaan oleh penguji. Kembali Allah memberikan keajaiban, karena pukul 12.00 Pak Agung ada acara, beliau memberikan pertanyaan dahulu. Aku sudah lupa apa saja jawabanku kepada beliau. Intinya beliau memastikan apakah jumlah subjek yang aku ambil sudah mencukupi syarat baik kualitas maupun kuantitas. Alhamdulillah sudah. Dan pertanyaan paling penting, tidak jauh berbeda dengan yang ditanyakan Ibu Nurun usai membuka Ujian, apa novelty dari riset yang kamu lakukan? aku lupa apa yang aku jawab, wkwkkwkkkkk. Kemudian Pak Agung menyimpulkan dari uraianku yang berbelit-belit bahwa walaupun cultural broker memiliki peran penting di dalam tradisi al-Qur’an di Kauman, namun perempuan adalah tulang punggung dari tradisi tersebut sehingga tetap terpelihara hingga saat ini. Yap, betul, demikian maksud saya, Pak. Hehee.

Ibu Dian selaku penguji kedua memberikan banyak sekali pertanyaan, mulai dari latar belakang, teori yang terus diublek-ublek hingga menanyakan kritikku terhadap teori tersebut. Bi barokati pak Sunyoto Usman yang bukunya sampe leccek itu, alhamdulillah bisa terjawab. Terima kasih banyak, ujian bisa dilalui dengan lancar dan syukur alhamdulillah dengan nilai yang melampaui ekspektasi. Pun revisi yang tidak perlu merubah hal-hal pokok, hanya diminta memaparkan data yang saat ujian aku jawab tapi belum tertulis di tesis. “Saya bingung mau ditulis dimana, Bu” heheee.

       Terima kasih banyak kepada Ibu Nurun yang dengan detail menayakan ini itu saat bimbingan sehingga mau tidak mau aku harus paham dengan apa yang sudah aku tulis. Aku amat sangat sadar, tugas akhir yang aku susun ini biasa saja, tidak se-amazing milik teman-teman lain (teuteup insecure as always) tapi dengan arahan beliau, poin-poin utama menyangkut problem riset- teori- metode dan  kesimpulan menjadi sinkron. Terima kasih banyak, Bu. Berkat akhir yang ‘baik’ ini juga aku merasa tidak terlalu tersesat memilih jurusan. Barangkali memang tidak piawai dan mudah stuck dengan kajian literatur yang mengkaji banyak turats. Tapi dengan living, aku menemukan diriku, sesuai dengan sifatku yang kekuatannya berasal dari luar, si ekstrovert. Kajian ini meyakinkanku bahwa sebenarnya aku mampu, tidak tersesat di SQH. Hanya saja perlu terus belajar dan bersyukur dengan tidak berhenti bergerak dan senantiasa memohon kasih, ma’unah dan ridha-Nya. (hiks)

Dan untuk teman-teman tercinta di SQH maupun di PPMU, terima kasih telah memberikan support yang sangat berarti selama ini. tanpa kalian semua, semakin tidak sehatlah mentalku menghadapi ini semua. Love you all, guys. Apalagi orang-orang di PPMU yang selalu menyemarakkan hidupku. Terima kasih untuk cinta dan bunganya ya, hangatnya kerasa sampai ke hati. Dan maap ga repost ucapan satu persatu. Malemnya auto tepar. Heheeeee.

Hingga upload tulisan ini di blog, aku belum mendengarkan ulang hasil record ujian dan sama sekali belum menyentuh untuk revisi. Duh, drama penyakit mental ini kambuh kembali. Semoga hidayah lekas menghampiri (btw, uda sepekan yang lalu euy, jemput tuh hidayah, jangan kelamaan mikir)

The last, Alhamdulillahi rabbi al-alamin.

Tentang Tugas Akhir (Part 3)

 

Pertengahan Januari pulang dari Kauman. Tetapi baru mulai fokus menyusun tesis pada akhir Februari. Apa kendalanya? Klasik saja, aku tidak betah berlama-lama di depan laptop. Jangankan untuk menggarap tesis. Menulis tulisan ini yang tak perlu berpikir sistematis dan ilmiahpun, mundur seminggu dari deadline. Hiks.

Saat di Semarang, aku sudah menyusun bab II dengan lengkap tapi masih kasar, hanya asal tulis saja. Bab III kerangkanya sudah aku tulis. Sebelum pulang, aku lebih dulu konsul dengan Ibu Nurun terkait daftar isi, beliau menelpon,  ada banyak koreksi pastinya, tetapi setidaknya kerangkanya sudah sesuai dengan arahan beliau. Dan karena menurutku arahan beliau tidak susuai dengan data yang aku himpun, kemalasanku pun untuk membuka laptop dan mulai menyusunnya semakin menjadi-jadi. Padahal sebenarnya yang beliau arahkan sudah jelas –baru sadar ya saat ini, setelah ujian- tetapi karena kapasitas otak yang sesndok berhasil bekerjasama dengan overthinking, aku gagal paham dan mulai muncul spekulasi-spekulasi dan kekhawatiran yang tidak jelas. Gimana kalau nanti begini begitu. Entah apa saja yang aku lakukan selama satu setengah bulan itu. Intinya, aku baru menggarap kembali tesis sepulang dari acara nikahannya Mbak Faizah. Likuran Februari, Mbak Faizah nikahnya tanggal 22-02-2020 (Tanggal yang sangat cantik btw) dan aku baru eksekusi setelahnya.

Wkwkkkkk, mari kembali ke topik. Entah kenapa, pada masa-masa itu rasanya aku eneg banget lihat laptop. Sementara waktu terus berjalan. Ini sudah ngulur satu semester, jadi semester ini haruslah usai. Dengan membulatkan tekad “nawaitu mekso awak” aku mulai menyicil bab III. Sehari hanya nulis 400-700 kata, pernah nulis hingga 1000 kata, pun hanya sekali, wkwkkkkk. Struggle sekali rasanya. Setiap usai subuh aku tidak melakukan kegiatan apapun selain buka laptop, kecuali ada diniyah pagi anak-anak. Niatnya mumpung masih fresh dan minim usikan, sepagi mungkin aku memulai. Tetapi yang aku lakukan adalah membuka blog hariannya pak Dahlan Iskan, DI’s Way ditambah Happy Wednesday, blog mingguan putranya bila hari rabu, laman Kliping Sastra, basabasi.co, Lakon Hidupnya Pak Benny Arnas dan blog-blognya orang yang aku buka secara random. Terus begitu hingga baterai laptop merah. Kalau baterai sudah habis, aku lanjut makan, mandi, dhuhaan, scroll IG, tidur, dhuhuran, buka laptop lagi, buka laman-laman yang tidak ada kaitannya dengan tesis, tutup lagi, shalat, makan, shalat, ngaji, tidur. Tengah malam bangun, buka laptop, sedikit nulis dilanjutkan dengan hal-hal random lainnya. Berulang. Benar-benar GJ yang haqiqi.

Sampai akhirnya aku kelar menyelesaikan Bab III walau masih mentah. Sama sekali perlu editan keras. Aku belum beranjak ke bab IV karena aku merasa perlu sekali mendapatkan validasi apakah bab III sudah oke. Ditengah kegabutan, aku mencoba menghubungi Mas Barir, sang kakak tingkat panutan yang tesisnya menjadi pijakan awal risetku itu lho. Kontaknya aku dapat dari CV yang terlampir di tesisnya, yang aku unduh dari web perpus. Voila, kontaknya masih aktif dan beliau menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang mengganjal di bab III. Alhamdulillah.

Hingga suatu hari, mas Barir inbox, bukunya cetak lagi yang ke-2, auto pesen dong, karena selama ini buku yang aku pakai masih punya Mbak Faizah (huhuu.. thanks banget mbak Paizah, tanpa bukumu, tak akan mulai tesisku). Dan mas Barir yang aku kira sudah kembali ke daerah asalnya, Gresik, ternyata masih stay di Jogja karena pekerjaan. Nawarinlah beliau buat nganterin langsung ke asrama, yeaayyy.. betapa girangnya diriku mengingat sejak 2017 Pak Rafiq bercerita tentang tesis Living Qur’an ‘terniat’ itu hingga saat ini aku masih menggunakan bukunya sebagai acuan pokok. Bertemu beliau rasanya me-refresh semangat untuk lekas kelar, bahwa kajian yang aku lakukan berarti. Setidaknya demikianlah beliau melapangkan dadaku.




Aku lanjutkan menyusun bab IV, sama sekali tidak konsultasi dengan Ibu Nurun, bukan karena sudah bisa mengerjakan sendiri, tapi karena terlalu banyak khawatir dan terlalu banyak memikirkan kemungkinan buruk. Hendak mengirim pesan di WA saja mikirnya lama sekali. Huhu. Baru aku sadari, menyusun tesis ini serasa memikul karung beras 50kg. berat pake banget. Liat laptop di meja bawaannya pengen nangis terus. Heheee. Serius ini bukan lebay. Entah kenapa aku yang cenderung plegmatis, dalam menyelesaikan tesis menjadi  didominasi melankolis, jadi sensitif dan baperan. Benar-benar selama proses penyusunan tidak ngapai-ngapain selain aktivitas primer yang menjadi tanggung jawab. Sudah lebih setahun sama sekali tidak produktif, masa-masa inipun semakin berat bagiku karena kerap dihampiri perasaan useless, pun pesimis akan hasil risetku yang ternyata “B aja, hanya kek gini.” Hiks.

Dari pada kelamaan sakit mental, aku segera myelesaikan semampuku dan aku kirim via WA ke Ibu Nurun, seperti biasa, beliau garcep sekali membalas pesanku. Dan berjanji untuk mengirimkan revisian minggu depan. Hmmmphfff.. setidaknya seminggu kedepan aku bisa bernafas lega. Tepat di hari ketujuh, beliau menghubungiku. Aku yang kerap meninggalkan HP dalam keadaan silent tidak menyangka beliau akan menghubungi hari itu juga, aku pikir keesokan harinya, karena aku ngirim berkas Rabu, ternyata Selasa sudah menghubungiku. Pas lihat HP sebelum shalat dhuhur, sudah terdapat WA beliau, 2 panggilan tidak terjawab, dan beliau juga nyari di grup karena aku not responding. Saya goler-goler sepagian, Bu. Maaf.

Beliau akan menelpon lagi pukul 2 usai ngajar. Untunglah HP aku genggam erat-erat. Pukul setengah 2 beliau sudah menghubungi dongs. Siapkan alat tulis, kata beliau. Baca pesannya saja aku ndredeg, duh.. apa saja koreksinya ini? setelah aku membalas siap, beliau langsung menelpon dengan beberapa catatan. Karena ke-songong-an ku, aku ber-insyaallah akan mengumpulkan revisian minggu depan. Banyak catatan beliau yang diberikan, dalam semua bab, awalnya enjoy saja aku melakukan revisi, dengan motivasi harus selesai sebelum ramadhan. Karena hanya menambah-nambahi dan merubah klasifikasi tradisi al-Qur’an di bab III. And then, drama kembali di mulai pada bab IV. Muales banget karena aku sendiri tak paham dengan aplikasi teorinya. Wkwkwkkkkk. Pantaslah kalau Ibu Nurun juga bingung saat membacanya karena akupun tidak tau apa yang aku tulis.

Kembali aku membaca buku pak Sunyoto Usman, mencoba membaca dengan sadar dan menangkap inti sari yang beliau sampaikan. Membacanya sambil duduk, rebah, setengah rebah, bahkan melungker. Pun tempatnya pindah-pindah, di kamar, kantor pondok, dekat pos satpam, di rooftop masjid. Hingga leccek-lah si buku yang sampulnya berdominasi putih itu. Bismillah, aku tulis kembali dengan pelan-pelan dan memendam emosi “Kapan sih ini selesainya, kok ndak selesai-selesai.” Heheee.

Tepat seminggu sebagaimana janji mengumpulkan kembali revisku kepada beliau, belum selesai dong revisinya. Aku menghubungi Ibu pembimbing yang sangat baik itu, minta maaf karena belum bisa menepati janji, “masih struggle di bab IV, Bu” dan dengan sabar beliau membalas, “semangat, silahkan dikerjakan.” Akhirnya 10 hari kemudian, aku kirim ulang. Tiga hari setelahnya, 27 April 2021, cccepted. Allahu Akbar! Alhamdulillah.. akhirnya.

Walaupun ada drama-drama administrasi dengan Bu Nurun, tapi overall aman. Bersyukur sekali mendapatkan pmbimbing yang tegas, garcep, dan mengarahkan dengan jelas. Hal penting sekali dalam masa mengerjakan tugas akhir di era pandemi. Mengingat juga tidak sedikit teman-teman yang pembimbingnya sering telat balas WA dan lama memberikan revisian. Bahagia sekali mendapatkan pembimbing beliau, walau sedih juga rasanya karena Hingga tesis ini selesai, aku belum pernah berjumpa secara langsung dengan Ibu Nurun. Hanya dua kali di kelas sebelum pandemi di matkul Hadits dan isu-isu kontemporer.

Sambil menunggu hasil cek plagiarisme oleh bapak Kaprodi, aku mulai mengurus berkas pendaftaran sidang, termasuk melakukan pembayaran ke bank. Termasuk dianterin ke studio foto untuk pasfoto oleh Mbak Iwwa, mamacih ya mbakkkkk. Alhamdulillah, hasil cek plagiasi sudah keluar, 11% dari batas minimal 20%. Tetapi ini bukan berarti drama telah berakhir, berkas-berkas untuk daftar sidang yang berjumlah 21 jenis masih kurang satu, dokumen power point tesis. Hanya satu itu, dan mungkin bagi orang lain itu bukan hal yang sulit, tapi bagiku itu adalah hal yang berat. Terlalu banyak yang terlintas di otakku. Bagaimana bentuknya, mau thema pakai warna apa, bagaiamana penulisan poin-poin latar belakangnya agar aku mudah mempresentasikannya –bagiku yang kalau ngomong kerap njlibet- bagaimana meringkas teorinya agar tampak poin pentingnya. Foto mana yang harus aku lampirkan. Semua aku pikir, kambuhlah penyakit mentalku -hanya memiikirkan tanpa eksekusi. Dan PPt itulah yang menghambat proses, semua karena aku kebanyakan mikir. Dari berkas yang sudah siap sejak tanggal 1 Mei, aku baru daftar sidang 19 Mei, usai hari raya. Yassalam. Lama sekali nunda-nundanya ya. Padahal proses pendaftaran oline dibimbing langsung oleh ahlinya, Mak Anti si Puteri Sulawesi via VCall. Thanks ya makkkkkk. Tanpamu apalah aku. Tapi ya gitu, dua minggu setelahnya aku baru setor berkas ke bu Tuti, pun dengan PPt seadanya karena tenaganya buat eksekusi uda habis tertelan pikiran-pikiran negatif sebelumnya.

Begitulah, semoga penyakit kebanyakan mikir dan gemar menunda-nunda ini segera diangkat oleh Yang Maha Kuasa. Amin..

Lanjut ke drama terakhir, heheeee

Tentang Tugas Akhir (Part 2)

 

Sekembalinya ke Jogja, aku langsung menghubungi semua teman yang memiliki akses dengan kedua pesantren tersebut. Ada Milun, mindoan-ku di Krapyak komplek Q, juga ada Mbak Faza, temennya Aliyah Mbak Farrah dulu di PP. Nurul Jadid yang melanjutkan pendidikannya di Krapyak (aku lupa di komplek apa). Keduanya banyak sekali membantuku mendapatkan kontak pengurus dari berbagai komplek yang jumlahnya tidak sedikit. Tetapi sayang, saat dihubungi, semua Ibu Nyai pengasuh menolak untuk diteliti lebih lanjut. Sebagian besar beralasan pandemi, sebagian lagi memang alasan pribadi tidak berkenan untuk diteliti dengan tema penelitianku. Antara sedih dan bangga, sedih karena risetku mentok tapi aku bangga bahwa betapa tawadhu’nya para Ibu Nyai di sana.

Sementara untuk PP. Sunan Pandanaran, aku dibantu Mbak Barokah, teman sekelas saat semester satu (yang kemudian dia dipindah ke kelas sebelah oleh sistem akademik, heu) untuk matur kepada Ibu Nyai Pengasuh di sana. Mbak Barokah sampai ditimbali ke ndalem untuk menjelaskan riseku. Dan ending-nya Kyai pengasuh maupun Ibu Nyai kurang berkenan untuk pesantrennya diteliti lebih dalam. Selain pandemi, juga karena sebuah alasan internal. Akupun memakluminya. Okay, mari bersabar dan tidak putus asa. Mungkin memang ini bukan yang terbaik. Tapi ya pada waktu itu, sesak sekali rasanya rongga dada.

Dalam tahap ketidak jelasan itu, aku hanya diam, membuka-menutup laptop tanpa kejelasan. Kadang baca-baca jurnal secara random, antara gamang pada bagian mana riset ini harus dirubah. Mas Fahrudin, Faisal, dan teman-teman lain menyarankan untuk menyusun ulang proposal dengan fokus studi literatur. Apakah memang harus merubah arah riset? Arrggg.. ndak mau, aku maunya living. Pun orang tua mendukung, katanya asalkan rasa penasaranku terjawab, silahkan mau riset dimana saja. Tapi disisi lain aku juga gamang, apakah aku terlalu memaksakan diri? terlalu ngotot tanpa melihat situasi?

Sebuah titik terangpun datang, salah seorang pengurus komplek R di Krapyak membalas WA-ku, Ibu Nyai pengasuh beliau berkenan untuk menjadi subjek penelitian. Dua hari setelahnya aku sowan ke ndalem beliau, Ya Allah, beliau humble sangat. Menerimaku dengan ramah, menanyakan banyak hal dan menceritakan pengalamannya belajar dan mengajar al-Qur’an hingga saat ini. Beliau adalah kemenakan pendiri IIQ Wonosobo, dan menantu bagi keluarga besar pesantren Krapyak. Terharu sekali rasanya, niatku yang awalnya hanya untuk sowan meminta izin malah mendapatkan banyak sekali data awal. Sekitar satu jam berada di dalem beliau, aku pamit dengan dada penuh. Penuh akan harapan. Sebelum pulang, aku matur bahwa bila benar-benar jadi meneliti beliau, aku akan tinggal di komplek tersebut barang setengah atau sebulan. Beliau mengizinkan asalkan aku mematuhi protokol covid yang berlaku di sana. Aku siap.

        Sekembalinya ke asramaku di Jl. Magelang, membaca catatan yang aku peroleh dari penuturan beliau, aku semakin bingung, kalau hanya satu Ibu Nyai yang berkenan, apa iya riset ini masih bisa dilakukan? Rasanya kabut tebal kembali menghalangi jarak pandangku.

Entah apa saja yang telah aku lakukan selama akhir bulan Juli itu, aku lupa, seakan tak sadar hingga saat ini, wkwkkkkk. Yang jelas, rasanya kepala pening sekali. Sepanjang hari-hari itu mimpi yang datang juga sering aneh-aneh, seperti ketinggalan kereta api dan dianter oleh teman-teman di PPMU mengejarnya. Jelas sekali tampak aku dibonceng Mbak Linda yang memang faktanya kalau naik motor tidak pernah tidak ngebut dan suka menerabas lampu merah, wkwkkkkk (piss Mbak Lin, pissss..!) dan teman-teman yang lain mengikuti dengan motor masing-masing, rasanya udah ndak ngala-ngalai iklan JupiterZ-nya Rossie dan Komeng. Tapi tetap saja si kereta tak terkejar. Mimpi ketinggalan pesawat apa lagi, pokoknya yang muter-muter tidak jelas di Bandara itu sering sekali menghampiri. Yang paling jelas banget, (hingga pagi harinya aku telpon babeh untuk memperkirakan kira-kira apa maksud di balik mimpi tersebut) adalah saat ketinggalan pesawat bareng Umi. Tampak di mimpi itu cuaca sedang cerah dan cenderung panas, entah kami berdua akan pergi kemana, kami dengan sabar menunggu di boarding, pesawat kami delay, dari speaker diinfokan bahwa pesawat kami masih lama, eh, beberapa menit kemudian, pesawatnya take off. Kami berdua speacless melihatnya dari balik jendela besar khas bandara. Menarik koper besar (yang entah kenapa di mimpi itu tidak masuk bagasi) ke pusat informasi dan ternyata memang benar tertinggal. Huhuuu. Mungkin inilah isyarat-isyarat aku akan mangkrak hingga 5 semester, wkwkkkkkkkk. Pada masa-masa ini, hanya satu doaku selain doa untuk kedua orang tua, berdoa agar Gusti pengeran senantianya merawat semangatku dan menjauhkan dari rasa putus asa.

Hingga pada awal Agustus, Aku mendapatkan info adanya Kampung Qur’an, di Kauman Semarang. Dalam keragu-raguan, aku mulai mencari info tentangnya, memang banyak sekali kegiatan yang tidak lepas dari al-Qur’an yang diselenggarakan di sana, dengan Masjid Agung Kauman dan Pesantren-pesantren al-Qur’an sebagai pusatnya. Yang paling fenomenal adalah kegiatan sima’an pada bulan Ramadhan. Silahkan ketik “sima’an al-Qur’an masjid agung Kauman Semarang” entry yang muncul tidak akan sedikit dan kegiatannya memang seramai itu. Akupun mulai membaca literatur tentang tradisi al-Qur’an. Selain jurnal-jurnal, kajian Tradisi al-Qur’an dalam buku Tradisi al-Qur’an di Pesisir –tesis yang Pak Rafiq katakan sebagai Kajian living ‘terniat’ yang akhirnya dilamar sebuah penerbit untuk dibukukan- yang aku pinjam dari Mbak Faizah pada awal semester 3 (panjang sekali narasinyaaaaa, hee) menjadi rujukan terbaik dalam literaturku (terima kasih banyak Mbak Faizah, ini bukunya masih di aku, ku jaga baik-baik kok) Karena mulai dari sejarah, proses transmisi dan transformasi tradisi al-Qur’an dipaparkan dengan eksplisit oleh Mas Barir, sang penyusun. Pun pengertian apa itu tradisi al-Qur’an dan aspek-aspek yang menyusunnya terdapat di dalamnya, ditulis langsung oleh Pak Rafiq dalam kata pengantar.

Tepat 17 Agustus, pertama kalinya aku berangkat ke Semarang menggunakan travel pagi, dihubungkan dengan salah satu Imam Masjid Kauman dan Ibu Nyai Pengasuh Pesantren Raudhatul Qur’an. Saat pertama kali ke Semarang untuk observasi awal dan meminta izin itu, aku sama sekali belum ada gambaran, objek apa yang akan aku teliti. Barulah saat sowan ke Ibu Nyai yang barangkali tidak lebih dari 30 menit, aku mendapatkan info kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di Kauman. Salah satunya adalah sima’an al-Qur’an setiap ba’da subuh di Masjid Agung Kauman, juga kegiatan-kegiatan sima’an lain bersama para hafidz di luar Kauman. Hanya info ini yang aku kantongi.

Sebelum adzan dhuhur berkumandang, aku sudah berpamitan untuk kembali ke Jogja. , aku menjama’ ta’dim Dhuhur Ashar di Masjid Agung yang sudah berdiri sejak abad ke 17 itu. Lanjut kembali ke pool travel, dalam perjalanan pulang dihantui kekhawatiran, benar-benar belum jelas, bagaian mana yang bisa menjadi problem riset dari penuturan beliau. Huhuhuuu.

Periode Agustus-Oktober, pagi, siang, sore, dini hari (ga ada malam karena biasanya aku terlelap habis maghrib atau habis isya’ dan bangun tengah malam) kerjjaanku meninjau berbagai literatur. Mencari fakta-fakta tentang kauman, beragam kajian tentangnya dan lain sebagainya. Hingga akhirnya rasanya semakin tidak jelas, apa sebanrnya yang akan aku tulis? Akhirnya aku meguhubungi salah satu senior alumni UGM, Mas Sulaiman, magister sosiologi. Dulu pas semester 2 kenal perantara Mas Anas saat aku dan teman-teman membutuhkan mentor yang bisa menjelaskan tentang teori-teori sosial. Mas Anas me-reply status WA-ku yang kalau tidak salah berbunyi “Teman-teman ada yang punya kenalan mahasiswa magister jurusan sosiologi? Kalau ada, please PM” banyak yang reply, tapi yang berkenan untuk membantu kami saat itu adalah Mas Sulaiman. Singkat cerita, aku dan ketiga temanku janjian dengannya di perpus UGM untuk diskusi. Wah.. ybs benar-benar memahami di luar kepala teori-teori sosial yang bergejibun itu, baik klasik hingga kontemporer. Dulu semester dua aku paham apa yang dijelaskannya, sekarang uda lupa semua. Yassalam.. *nyengir*.

Akhirnya aku minta bantuan untuk mencari problem dan teori yang pas tentang realita perempuan Kauman. Kira-kira semingguan, diputuskanlah aku mengambil teori modal sosial. inget banget Mas Sulaiman waktu itu bilang “tenang Najma, tak jelasne nganti kowe dhong.” Sebaik itu memang. Aku mulai melakukan langkah awal, menelusuri berbagai literatur tentangnya. Untungnya Mas Sulaiman juga merekomendasikan buku apa saja yang harus aku baca, plus dia juga mengirimkan beberapa literatur yang dia punya. Jadilah rasanya hidayah itu bisa lebih mudah didapatkan dari pada proses sebelumnya. Akhirnya aku menyusun proposal, berjudul Modal Sosial Perempuan Kauman dalam Melestarikan Tradisi al-Qur’an. Entah pastinya tanggal berapa proposal itu rampung, yang jelas pertengahan November sudah aku kirimkan kepada Ibu Nurun Naajwah. Sebelumnya, Mas Sulaiman membantu mengoreksi, sehingga kata “melestarikan” diganti “Memelihara” karena menurutnya labih pas dengan redaksi ayat “inna nahnu nazzalna a-dzikra wa inna lahu lahafidhun” juga, diksi melestarikan rasanya lebih merujuk kepada ekologi. It’s Ok!

Problem yang kami angkat berangkat dari pernyataan Clifford Greetz (seorang antropolog yang lama sekali melakukan penelitian di Indonesia) dalam The Javanese Kijaji: The Changing Role of Cultural Broker yang menyatakan bahwa cultural broker atau makelar budaya yang berperan menghubungkan sekup sistem tradisi lokal dengan sekup sistem tradisi yang lebih luas dalam konteks Jawa adalah Kiai, karena Kiai dianggap memiliki 2 wajah sekaligus, yakni sebagai pemimpin dan pendidik masyarakat. Hal ini diperkuat dengan data riset yang dilakukan Mas Barir dalam tesisnya itu bahwa jaringan Kiai dalam transmisi dan transformasi tradisi al-Qur’an di daerah pesisir memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi lahirnya tradisi-tradisi al-Qur’an. juga disertasi Pak Rafiq saat menempuh S3 di Tample University yang mengangkat resepsi masyarakat Banjar. Di sana, tuan guru lah yang juga berperan menjadi cultural broker . Oke, ini adalah bagian das sein. Sementara das sollen-nya, Kauman Semarang tidak demikian adanya. Perempuan-perempuan di Kauman juga turut andil dalam berbagai lini kehidupan yang juga mencakup pendidik dan pemimpin masyarakat, diantaranya juga menjadi pengurus masjid Agung Kauman yang disebut dengan IKLIMAS (Ikatan Muslimat Masjid Agung Kauman), memimpin pengajian-pengajian, diundang menjadi pelaksana dalam slametan-slametan, melakukan sima’an al-Qur’an 5x dalam sepekan di Masjid Agung Kauman, dan lain sebagainya yang mencukupi syarat sebagai tradisi al-Qur’an. kira-kira demikianlah gap yang aku bangun, wkwkkwkkkkkkk. (Gap ini baru aku temukan pas terjun di lapangan  dan hal ini baru aku pahami setelah revisi tesis kesekian kali Oleh Ibu Nurun. Sebelumnya mah sama sekali tidak jelas bentuk risetku) dari realitas tersebut, teori modal sosial digunakan untuk menelaah apa saja sih hal-hal yang berkaitan dengan elemen masyarakat Kauman sehingga para perempuan memiliki power sedemikian besar. Oh, ternyata perempuan di sana memiliki kepercayaan, norma dan jaringan yang sangat kuat sehingga bisa berada dalam posisi seperti saat ini, yang kemudian berimplikasi pada terpeliharanya tradisi al-Qur’an yang bahkan berusia ratusan tahun. Terkait modal sosial itu sendiri silahkan baca buku yang ditulis Bapak Sunyoto Usman. Itulah buku babon yang menjadi rujukanku, rekomendasi Mas Sulaiman, again.

Selama tiga minggu, proposal tersebut ngetem di Ibu Nurun, ternyata beliau lupa kalau aku sudah mengumpulkan kembali proposal yang baru, kata beliau, pesanku tertimbun oleh kata selamat karena seminggu setelah aku mengumpulkannya, aku matur kepada beliau, bahwa artikelku dalam mata kuliah yang diampu beliau dimuat di salah satu jurnal. jadi beliau mengira sudah membalas pesanku terkait proposal karena pesan terakhir berbunyi "selamat" Heheeee.

 Pagi hari di minggu ketiga setelah mengumpulkan proposal itu, aku menghubungi beliau. Beliau kaget karena baru ini tidak mengoreksi tugas akhir mahasiswanya hingga tiga minggu. Pagi itu beliau sedang mengajar, lalu berjanji untuk menelpon dan memberikan koreksi pada siang harinya. Alhamdulillah beliau approve walau ada sedikit catatan di rumusan masalah dan sistematika pembahasan. Aku diminta untuk segera terjun lapangan karena semester 4 sudah akan berakhir. Antara senang dan sedih. Senang karena approve dan sedih karena sudah tampak jelas aku tidak lulus tepat waktu. Hiks. Tak apa, memang demikian jalannya, yang penting sudah berusaha untuk terus bergerak. (kembali ke prinsip hidup, LOL)

Sekitar tanggal 9 Desember aku berangkat riset ke Kauman. Alhamdulillah mendapatkan kos plus teman-teman di dalamnya yang baik-baik banget, walaupun nyari kosnya di google map dan booking-nya online. Ndak kenal siapa-siapa soalnya, huhu. Beruntung dek Ifa punya koper jumbo sisa umroh yang bisa aku pinjam, sehingga selain baju dan buku-buku, meja lupatku pun juga bisa aku bawa. Wkwkkkkkk. Banyak sekali sosok-sosok yang membantuku selama di sana. Dalam hal ini ada yang tidak mau aku sebutkan. Bersyukur sekali diterima dengan tangan terbuka saat sowan kepada ibu-ibu aktivis tersebut. Sejauh perjalanan observasi dan menggali data, tidak terdapat kendala yang berarti. Aku menjalaninya dengan senang hati. Menjumpai banyak orang, memperhatikan banyak hal, beli jajanan dan sate di pasar Johar setiap habis jamaah subuh, wkwkwkkk.  

Terharu sekali karena sekaliber KH. Hanif Ismai’il yang merupakan tokoh masyarakat, ketua Ta’mir masjid Agung sekaligus pendiri TPQ terbesar di Kauman (angka lengkapnya ada di tesis, lupa) dengan humble-nya meluangkan waktunya untuk ditemui walaupun aku hanya mengkonfirmasi via WA. Pun para ibu-ibu berkenan membiarkan aku mengikuti berbagai aktivitas pengajian di Kauman. Jadi ingat Ibu Yanti yang menungguku  cukup lama untuk pengajian pada malam Juma’at ditengah gerimis. Sementara aku juga menunggu beliau di kos nyambi telponan dengan orang rumah. Aku santai saja karena bu Yanti berjanji akan menelponku bila telah tiba di depan kos, dan ternyata, HP-ku dalam keadaan silent. Ya Ampun, maafkan daku, Bu. (Salim wolak walik sama Bu Yanti)

Ibu Khoir juga tidak segan mengajakku sima’an di rumah warga saat beliau mendapat undangan, waktu itu aku sima’an di daerah Semarang Timur, (sementara Kauman berada di Kecamatan Semarang Tengah) saat teman beliau yang biasa sima’an sedang haid, akhirnya akulah yang diajak. Alhamdulillah bisa mendapatkan tambahan data yang kata Mas Sulaiman merupakan penerapan dari teknik penggalian data FGD, aku sih iya-iya saja karena ndak faham kasudnya, heee. Ternyata sebelum pulang sima’an, disangoni sama tuan rumah. *jadi malu. Intinya, proses observasi aman dan membahagiakan. Terima kasih kepada ibu-ibu pengurus IKLIMAS (Ikatan Muslimat Masjid Agung Semarang). Anggota dan pelaksana sima’an di Masjid, ibu-ibu pengajian di Kampung Book, Kerajaan dan di Kampung Mustaram, juga ibu-ibu pengajar di TPA, penerimaan beliau semua hangatnya terasa sampai ke hati. Bahkan saat pamit untuk kembali ke Jogja, aku mendapatkan banyak kenang-kenangan, ada yang ngasih mukenah, jilbab, brownies famouse di Semarang yang aku lupa brand-nya, hingga kue Ganjel Rel khas Semarang. Huhuuuu. Terharu sekali.

Aku resmi menyelesaikan riset pada pertengahan Januari 2021. Oh.. ada kendala terkait surat izin riset juga sebenarnya pada akhir Desember. Tapi lebih kepada aku yang teledor dan gagal faham. Sampai-sampai Ibu Nurun menelpon dan meberikan opsi, kalau ternyata jenjang izin risetnya susah, fokus risetnya dirubah menjadi pustaka yang semi lapangan sehingga tidak perlu mengurus surat riset yang berjenjang dari Fakultas-Pemerintah Jogja- Pemprov DKI- Pemprov Jateng- barulah Kauman. Aku sempat down dan menjadi malas ngapa-ngapian sekitar dua harian. Tapi syukurlah, Sang Maha Kuasa dan Maha baik senantisa memberika kemudahan. Karena pandemi, pihak fakultas memberikan  keringanan bahwa cukup dengan izin riset dari fakultas. Allahu Akbar. *hembuskan nafas keras-keras* terima kasih banyak Pak Joko, staf fakultas yang sangat baik mengurus surat riset kami.

Alhamdulillah, Observasi lancar. Drama baru berlanjut saat penyusunan tesis dimulai.

Minggu, 30 Mei 2021

Tentang Tugas Akhir (Part 1)

 

Ihwal tugas akhir ini harus aku catat, setelah mempertimbangkan banyak hal (anaknya memang overthinking kan? Jadi yang dipertimbangkan banyak) wkwkkk.

Pertama, tugas akhir ini menyita banyak sekali fokusku, terhitung sejak awal 2020 hingga Kamis tanggal 27 Mei 2021 kemarin. Setahun setengah kerjaannya galau terus mikirin tesis. Naik turun.

Kedua, selesainya tugas akhir ini meyakinkan diriku bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri yang selama ini selalu berkecil hati bahwa aku salah mengambil jurusan studi (salah jurusan sampe magister kan bikin galau bangets). Ternyata saat aku teguh memegang pendirian, aku  dapat mengenali pattern-ku walaupun dalam kasus salah ngambil jurusan ini.

Ketiga, tidak cukup mengucapkan terima kasih hanya di story WhatsApp dan Instagram kepada banyak pihak yang terlibat dalam proses yang panjang ini. Kepada support system yang banyak sekali, subjek-subjek dalam riset, para guru, dan banyak lagi. Yang keberadaan mereka sangat berarti, sehingga harus dituliskan di tempat yang suatu saat mudah untuk diakses kembali. Blog ini menjadi pilihannya.

Keempat, untuk mengisi blog yang sudah karatan, lama banget nggak nulis. Dulu buat blog pas lulus S1 (postingan pertama pas terakhir di pondok Jember, usai packing bareng Mbak Dudun, kurang dari seminggu setelah sidang) dan hanya berisikan beberapa tulisan hahahihi, setelahnya bener-bener fakum.

Oke, langsung saja. Poin pertama tentang tugas akhir yang menyita banyak waktu itu. Sejak awal memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah berniat menulis tesis dengan riset berbasis lapangan. Alasannya, aku penasaran dengan cara kerja studi al-Qur’an dengan teori sosial, juga karena merasa banget kalau riset pustaka yang kerjanya setiap hari buka buku ini itu, menelaah satu buku ke buku yang lain, berselancar dari J-Store ke Willey, dari maktabah sayamilah ke rak referensi di perpus, dan yang sejenisnya, adalah bukan aku bangeeettt. Jenuh sekali diriku kalau kerja sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain.

Cukuplah Mbak Dudun menjadi saksi bagaimana diriku saat menulis skripsi dengan judul Hermeneutika Subjektivis: Studi atas hermeneutika al-Qur’an Farid Essack- itu. Aku sama sekali tidak menikmati  prosesnya, wajah selalu merengut, wkwkwkkkk. Mood dan emosi yang tidak stabil dan semakin doyan tidur untuk menghindari si skripsi. Duh.. sepurane Mbak Dudun yoooo (^^V) Menyusunnya pun hanya karena ingin menjawab tantangan seorang dosen yang dulu juga menjadi guru MTs. ku yang mengatakan "Jurusan tafsir kui lek nulis skripsi, mengkaji hal sing update, hermeneutika misale." jadilah diriku meng menulis hermeneutika yang kalau dibaca saat ini sungguh tidak jelas maksudnya. Walaupun kemudian dinobatkan sebagai skripsi terbaik saat yudisium, hal itu tak lebih dari sebuah keberuntungan belaka. Beruntung tidak lulus bersama Mas Fahrudin, Ning syarifah dan Ahmad Syaifuddin Amin (maaf menyebut nama tanpa izin ya) Kalau iya, pastilah diriku yang butiran rinso ini hilang dalam sekali kucek. Terima kasih keberuntungan :'))

Keinginan kuat untuk riset lapangan muncul sejak masa akhir S1 dulu, saat fakultas mendatangkan Bapak Ahmad Rafiq, Ph.D. dalam kuliah umum tentang model riset al-Qur’an dan hadits berbasis teori sosial atau disebut dengan corak riset Living Qur’an dan Living Hadist. Dari kuliah setengah hari bersama Pak Rafiq itu, istilah resepsi, transformasi, internalisasi, objektivikasi, eksternalisasi, dan ragam si-si-si yang lainnya aku dengar. Ditambah beliau menunjukkan sebuah tesis mahasiswa bimbingannya yang meneliti tentang tradisi al-Qur’an di daerah pesisir Jawa Timur yang menurut beliau merupakan penelitian living "terniat" yang pernah ada karena berhasil memaparkan bagaimana proses kiai-kiai di Gresik dan Lamongan melahirkan tradisi-tradisi al-Qur’an sekaliber MTQ. Semakin meluap-luaplah keinginanku untuk mendalami riset lapangan al-Qur’an dan Hadist.

Qadarullah, ditakdirkan melanjutkan studi di Kampus tempat bapak Rafiq mengabdi, berharap beliau juga akan menjadi pembimbing tesisku nantinya. Dan ternyata, hingga semester tiga, karena padatnya jadwal beliau di Program Interdiciplener Islamic Studies, beliau tidak memiliki jadwal mengajar di prodi SQH,  minim sekali kemungkinan beliau menjadi pembimbing tesis di prodi kami. Tapi tekadku untuk mengambil riset lapangan masih sebulat bulan purnama. Wkwkkkkkk. Ingat banget pas awal kuliah, saat maktabah darus sunnah merilis buku yang berjudul Ilmu Living Qur’an dan Hadits, aku termasuk bagian yang memesannya pada masa pre-order. Saat datang, antusias membacanya, mencoret-coret dengan stabilo dan pensil, walaupun baru paham maksud bukunya ya baru-baru ini. Wkwkkwkkk. Tapi sekarang sudah lupa lagi ding! :D

Sebelum semester tiga aktif, semester dimana kami harus mempresentasikan dan mengajukan proposal tesis, aku sudah janjian bertemu dengan Mas Fahrudin (sekalian menyambut adek tingkat yang juga melanjutkan kuliah di kampus kami, hallo Umi Wasilah!) senior memiliki banyak problem solving dalam masalah akademik bagi teman-temannya sejak masih di Jember dulu hingga saat ini, wkwkwkkkk. Curhatlah diriku, tentang keinganan risetku, ingin mengangkat tema living yang fokus pada peran perempuan. Niatnya ingin melanjutkan skripsinya kakak tingkat saat di Jember dulu, Mbak Ainul Churriya Almalachim atau biasa kami panggil Mbak Ema, yang meneliti peran Ibu Nyai dalam tradisi Tahfidz. Kata Mas Fahrudin, Althaf temen sekelasnya saat ini juga pernah menuliskan proposal riset dengan tema sejenis saat matkul metodologi penelitian di semester 1.

Akhirnya aku hubungi keduanya, kabar dari Mbak Ema, ternyata skripsinya dia kembangkan sendiri dalam disertasi yang sedang ditulisnya saat ini. Mbak Ema mengirimkan file skripsinya dan menyemangati bahwa ada banyak celah problem dan teori yang bisa dilanjutkan. Antara ingin tertawa dan nangis saat membaca WA-nya, semangatku untuk melanjutkan risetnya sudah tidak membara lagi. Sementara Althaf yang tidak berniat melanjutkan proposalnya, dengan lapangnya memberikan hard copy naskah proposalnya, setelah kami melalui janji-janji jumpa untuk serah terima si naskah tapi waktu tidak pernah tepat, finally dititipkan melalui Mas Fahrudin. Proposal Althaf aku baca untuk melihat garis besar problem, teori dan metodenya. Setelahnya aku simpan, tak pernah lagi aku buka.

Kuliah semester tiga mulai aktif pada pertengahan Februari 2020, dua minggu kemudian, setelah tugas-tugas diberikan, pun dengan tugas proposal tesis yang deadline-nya harus dipresentasikan sebelum UAS, kembali aku janjian dengan mas-mas problem solver itu (wkwkwkkkkk). Bahwa aku tidak lagi mungkin meneruskan riset Mbak Ema karena ia lanjutkan sendiri sebagai tugas doktoralnya di UIN Sunan Ampel. “Apakah Mas Fah ada usulan tema?” tanyaku. Menurutnya, untuk saat ini kalau memang tidak ingin mengambil penelitian pustaka dan turats, baiknya living yang berkenaan dengan al-Qur’an dan local wisdom, atau al-Qur’an dan new media. Untuk local wisdom, Mas Fahruddin menyarankan untuk meneliti sebuah syair berbahasa madura. Ia mengirimkan naskah syairnya kepadaku via WA yang ditulis dalam huruf pegon, katanya, syair itu diupload Bapak Dardum (dosen kami di Jember) di akun FB-nya.

Aku mulai mencari literatur tentang sayair, mengartikan syair yang diberikan Mas Fahrudin kedalam bahasa indonesia, isinya memang banyak terinspirasi dari hadits. Oke, sudah aku temukan garis besarnya, bisa ditarik kepada resepsi estetis hadist dalam syair madura terhadap keutamaan al-Qur’an. Di sisi lain, aku tetap menelaah literatur tentang new media, baik berupa kajian tafsir di youtube, website, dan hal-hal yang berbau Qur’an Hadist dalam dunia digital. Tapi kembali aku putuskan, meneliti dunia digital memang kebaruan dalam dunia tafsir, tapi itu bukan aku. Karena ending-nya aku akan menggali data di depan laptop. Apakah aku akan betah? Membayangkan berlama-lama di depan laptop saja kepalaku jenuh sekali.

Akhirnya, awal Maret aku putuskan pulang ke Lumajang, menelusuri sumber syair itu. Naik turun gunung hingga kedaerah terpencil di Kabupaten sebelah, tentunya diantar babeh, ah.. perjalanan yang sugguh struggle karena kami tidak kenal sorangpun, tapi demi tugas akhir ini, gunungpun aku daki. Bermodal keyakinan “selama kita mau bergerak, Allah pasti memberikan pertolongan,” kami dipertemukan dengan orang baik mengantarkan kami menemui sosok yang kiranya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.  Akhirnya, menurut penuturan seorang tokoh masyarakat, syair tersebut berasal dari daerah Sumber Gayam pulau Madura.

Aku sudah mantap untuk menelusurinya ke Pulau Garam itu, berharap pengarangnya masih sugeng dan berkenan untuk diwawancara. Sebelum melanjutkan penelusuran ke Madura, aku kembali lagi ke Jogja karena masih ada jadwal kuliah. Dan ternyata, pesantren di Sumber Gayam yang melahirkan syair itu dekat dengan rumah saudaranya Dek Ifa, temanku yang sama-sama mengabdi di PPMU. Bahkan ia mau membantu menghubungkanku dengan saudaranya. Alhamdulillah, setidaknya akan ada yang mengarahkan bila jadi riset di pulau yang terhubung dengan jembatan Suramadu itu. Akupun semakin semangat, mencari celah waktu untuk bisa segera observasi sebelum akhirnya menyusun proposal tesis. Yang ada di kepalaku, tesis yang akan aku susun akan berbunyi resepsi estetis masyarakat madura terhadap hadits keutamaan al-Qur’an. untuk problem akademiknya, dipikirkan belakangan saja. Heheheee.

Diluar kendali, situasi berat pun datang, pandemi. Semua rencana observasi ke Madura, failed. Aku kembali ke Lumajang, pun semua teman-teman juga pulang ke kampung halaman. Semua aktivitas kuliah dilakukan secara online, termasuk pembelajaran di PPMU. Dengan berat hati aku mengikhlaskan syair-syair bahasa madura yang sangat filosofis dan menarik itu. Kembali mencari celah untuk riset. Sementara waktu terus berputar, Juni sudah harus mengumpulkan proposal. *pening*

Sebenarnya saat semester 2, aku sudah menyusun proposal penelitian lapangan sebagai tugas matkul Studi Living Qur’an, tentang filantropi, bagaimana orang-orang meresepsi ayat-ayat tentang shadaqah sehingga membuka sekolah, pesantren dengan basis menghafal al-Qur’an secara gratis. Dan mengapa pendidikan menghafal al-Qur’an yang dipilih, bagaimana resepsi mereka terhadap hadits-hadits keutamaan al-Qur’an menggunakan teori yang begitulah-begitulah. Tapi ya kok rasanya flat sekali, pun juga tidak memungkinkan terjun lapangan karena masih pandemi. Kalau kembali dipikir-pikir, sejak awal tertarik melanjutkan risetnya Mbak Ema karena ingin mengangkat power perempuan sebagai topik utama. Sementara filantropi dan syair belum tampak peran-peran perempuan di dalamnya. Hingga last minuts pengumpulan proposal pun, aku masih stuck, belum tau mau riset apa untuk tesis.

Ahaa! Aku teringat pada propsal milik Althaf yang objek risetnya tidak jauh berbeda dengan skripsi Mbak Ema, peran Bu Nyai dalam tradisi tahfidz. Fokus Althaf adalah Bu Nyai di Pesantren al-Munawwir Krapyak, pesantren al-Qur’an tertua di Indonesia. Kurang lebih tiga minggu dari batas akhir pengumpulan proposal, aku mulai mengkaji literatur-literatur yang membahas tentang peranan pesantren Krapyak. Memang telah ada beberapa yang mengkaji peran Bu Nyai kaitannya dengan kesadaran gender, pendidikan gender maupun kesetraan gender di dalamnya, hanya saja peran Nyai dalam tradisi al-Qur’an utamanya transimisi al-Qur’an belum ada yang meneliti, padahal se-indonesia-pun tau kalau Krapyak adalah pesantren al-Qur’an. Dalam proses pencarian problem dan teori, aku menemukan data bahwa pesantren Sunan Pandanaran yang juga terdapat di Jogja memiliki hubungan darah dalam transmisi al-Qur’an karena didirikan oleh salah satu Murid alm. K.H. Munawwir sekaligus juga merupakan menantu beliau (karena menikah dengan salah satu putri beliau) yang hingga saat ini juga memberikan sumbangsih yang besar dalam sanad keilmuan al-Qur’an di Indonesia. Akhirnya, berpijak dari proposal Althaf, aku mulai menyusun proposal tesis dengan fokus peran Bunyai pesantren Krapyak dan Sunan Pandanaran dalam transmisi al-Qur’an di Jawa. Syukurlah, pada detik terakhir deadline pengumpulan proposal. 

Alhamdulillah, keberuntungan juga masih berpihak kepadaku, bersama 7 proposal lain milik teman sekelas dianggap layak untuk diteliti lebih lanjut menjadi tesis dan langsung mendapatkan dosen pembimbing. Aku mendapatkan pembimbing Ibu Nurun Najwah. Walaupun ada rasa senang karena proposal lolos, kabut tebal serasa menghalang pandanganku untuk melangkah kedepan. Bayangkan saja, proposal di-Acc oleh kaprodi tetapi aku belum pernah sama sekali sowan kepada pengasuh kedua pesantren apakah keduanya berkenan untuk diteliti lebih jauh, mengingat pandemi sedang horor-horornya. Aku putuskan kembali ke Jogja sekitar awal bulan Juli, selain tuntutan pengabdian, juga untuk mendapatkan kejelasan izin riset.

Aku akan terus bergerak, semoga Yang Di Atas senantiasa berkenan menurunkan keajaiban disela-sela keyakinan yang kian menipis.

Bersambung