Mbah Kakung,
panggilan bagi kakek dalam tradisi Jawa. Ini bukan tentang Mbah Kakung biasa, karena
sebagaimana seharusnya kakek yang merupakan bapak dari ibu atau ayah, aku
baru mengenalnya setelah berumur 21 tahun, tanpa ikatan darah.
Siang itu, minggu
pertama Ramadhan 1437 Hijriah, aku menemuinya di sebuah masjid yang dua minggu
setelahnya baru aku ketahui bahwa Mbah Kakung itulah yang membangunnya.
Pertemuan terencana, Ustadz kami, staf khusus tahfidz Qur'an di kampus yang mengatur dan
menjadi perantara pertemuan kami. Dan setelah pertemuan itu, barulah Aku tahu
kalau Ustadz merupakan cucu dari sepupu si Mbah Kakung.
Terik matahari sangat
menyilaukan, membuat alisku hampir menyatu, begitupun dengan Yuni, teman yang
memboncengku dengan motor matic putihnya dari kampus hingga pelataran
Masjid ini. Aku lihat, ustadz kami juga sama, berusaha menghalau cahaya
berlebih dengan alisnya, menuju teras masjid yang terlihat lebih sejuk.
Ustadz meminta kami
menunggu di teras, kami segera duduk. Aku mengedarkan pandangan ke dalam masjid,
jamaah sudah bubar, sisa dua orang laki-laki di dalam. Di shaf ke dua, lurus
dengan tempat imam, terdapat sosok berpostur pendek dan gemuk, tampak agak tambun, sepertinya
sudah tua, bagian rambut yang tidak tertutup kopyah tampak putih, senada
dengan kopyah dan kokonya, sarungnya berwarna denim, juga sedang sholat.
Sisanya, seorang dengan hem coklat muda dan kopyah hitam, dekat dengan sisi
pintu selatan, posisi duduknya yang agak mencong ke utara, membuatku dapat
melihat dengan jelas wajah legam terbakar matahari, seorang pekerja keras, sedang
merapalkan doa-doa penuh khidmat.
Dua menit, Ustadz
keluar diikuti oleh sosok tambun itu, dapat aku tatap dengan jelas wajahnya
yang berbinar, kumisnya juga sudah memutih, senyumnya merekah sambil
mengucapkan salam, kami balas dengan salam di mulut dan tangan, mencium
punggung tangannya yang terulur.
“Gimana? Ini kah yang
mau tinggal? Semoga cocok ya, semalam sudah Mbah isi rumahnya, nanti kalau
kurang dan butuh apa-apa, tinggal bilang.” Tanpa basa-basi, langsung inti
percakapan.
Sekitar dua minggu
sebelum pertemuan teras Masjid itu, aku, Yuni dan Mbak Farrah bingung memilih
tempat untuk tabarrukan* sebagaimana kebiasaan kami saat libur panjang.
Rencananya usai UAS sekitar 13 atau 14 Ramadhan kami akan nyantri kembali.
Sudah ada 2 opsi pesantren sebenarnya, tapi kami rasa nanggung, karena liburan
pesantren biasa dilaksanakan pada 21 atau 23 Ramadhan, sementara planning kami bisa
nyantri sampai 28 Ramadhan. Pesantren kedua memberikan kesanggupan untuk menerima
kami dan tetap menjalankan kegiatan sebagaimana biasanya hingga 27 Ramadhan. Akhirnya
deal, tabarrukan di pesantren kedua. Hingga lima hari sebelum
pertemuan dengan Mbah perawakan tambun berwajah berbinar ini, Ustadz menawarkan
bahwa saudaranya memiliki rumah yang bisa kami tempati dengan kapasitas 12
orang. Kegiatan tabarrukan bisa tetap dilaksanakan bersama Ustadz, melanjutkan
kegiatan mengaji selama di kampus. Jarak rumah ustadz dengan tempat kami akan
tinggal hanya sekitar 200 meter. Dan terik diminggu pertama Ramadhan itupun
menjadi awal pertemuan kami dengan Mbah Kakung.
Dua minggu lebih satu
hari, kami tinggal di salah satu rumahnya yang tidak ditempati. Sekitar 50
meter ke arah timur Masjid tempat kami bertemu. Dari Ustadz kami tau bahwa
Rumah itu dibeli secara patungan oleh si Mbah dengan salah satu dari 6
putranya, saat pimiliknya pindah dinas. Semakin hari, melalui penuturan ustadz
dan kadang Mbah Kakung sendiri, membuat kami terperangah akan kehidupan Si Mbah.
Rasanya campur aduk bisa mengenalnya, senang, sedih, cemas dan antusias.
Senang, karena bisa dekat bahkan dianggap cucu olehnya, terbukti beliau selalu
menyebut dirinya Mbah di depan kami. Sedih, Karena umurnya sudah 77 tahun, kami
ingin lebih lama bisa bersamanya. Cemas, sangat cemas dan khawatir, dapatkah
kami menjadi sosok seperti dia nantinya? Bila diumur 21 belum memulai start
apapun untuk kehidupan dunia, apalagi untuk akhirat. Dan antusias, kami menjadi
lebih antusias dalam menjalani hidup, minimal agar bisa sepertinya, Bahkan kalau bisa agar lebih
baik lagi.
Mbah Kakung tinggal
bersama anak bungsunya Mbak Hafni yang menderita tunagrahita, dan seorang
menantunya, kami memanggilnya Pak Rahmat, suami Mbak Hafni. Kelima anaknya yang
lain berada diluar kota, sudah pada jadi orang dan berkeluarga. Aku lupa
urutannya, Ada yang jadi dokter spesialis di salah satu rumah sakit Surabaya,
dosen di ITS Surabaya, bagian dari menteri komunikasi di Jakarta, Sekretaris Daerah
provinsi Jawa Timur berdomisili di Bangkalan Madura, dan staf ahli di salah
satu perusahan swasta pengelola hasil pertanian di Jember. Yang terakhir
menurut Mbah tak lagi dianggapnya sebagai anak, karena suka telat mendirikan
sholat.
Istri yang
menemaninya selama 48 tahun telah berpulang delapan tahun lalu, awal 2009. Menurut
penuturan salah satu tetangga, yang bercerita usai jamaah subuh di Masjid setelah seminggu
kami tinggal, perantara meninggalnya istri Mbah karena diabetes. Perempuan itu berusia 14
tahun saat dinikahi Mbah Kung, sementara Mbah Kung 20 Tahun. Dalam salah satu
cerita Mbah di suatu malam, sebelum dinikahi, Istrinya adalah penganut aliran
kepercayaan, tidurnya hanya 2 jam sehari semalam. Tapi ia adalah tipe
pembelajar cepat, sambil mengantar anak-anaknya ke Sekolah Dasar Islam favorit
di masanya, istrinya turut belajar agama dan belajar membaca al-Qur’an, Saat
gelar ibu haji di disandangnya, ia benar-benar telah menjadi perempuan Muslim yang taat.
Salah satu keponakan Mbah Kakung bercerita, bahwa alarhumah sangat disiplin
mendidik anak-anaknya hingga bisa sukses seperti sekarang ini. Belakangan Mbah
Kakung bercerita bahwa istrinya anak dari mantan kepala sekolah saat dia SD
dulu yang pernah menamparnya karena tidak membawa tugas kesenian. Menurut Mbah,
bukannya tidak mau mengerjakan tugas, tapi memang saat itu tidak ada biaya yang dapat digunakan
untuk menghasilkan sebuah karya. Sejak kejadian itu Mbah Kakung berhenti
sekolah.
Dua tahun sebelum menikah, Mbah Kung diminta
untuk bekerja di PTPN tembakau dekat dengan rumahnya. Ia bersikeras menolak,
karena prinsip hidupnya adalah tak mau mencari kerja, hanya mencari ridho
Allah. Karena utusan PTPN itu memaksa, dengan setengah hati ia menerima. Tiba
di suatu masa, terhitung 2 tahun dia bekerja, diamanahilah untukk mengelola
sepetak tanah, saat terdapat kunjungan menteri pertanian di PTPN, takjublah
sang menteri, dari sekian petak tanah percobaan, tembakau Mbah Kakung lah yang
tampak sangat subur dan hijau.
“Sang menteri
memanggil Mbah, padahal Mbah bersembunyi, karena malu. Mbah saat itu sangat
pemalu. Kemudian kemudian ia memerintakan kepada kepala perkebunan agar
mengangkat Mbah sebagai mandor. Padahal ijazah SD pun saat itu tidak punya.
Kalau ndak salah, syarat menjadi mandor harus lulus SMA pada waktu itu. Karena
Pak menteri yang meminta, tak ada yang berani menolak meskipun Mbah tidak
memenuhi kualifikasi. Hee.. Ini semua karena Allah, kita harus memenuhi apa
yang Allah perintahkan, maka tanpa dimintapun Allah akan memberi. Harus yakin
sama Allah.” Tuturnya, pada malam ke 28 Ramdhan, saat kami berpamitan akan
pulang esok harinya dan berjanji akan kembali lagi pada 13 Syawal.
Dalam kesibukannya
sebagai mandor, Mbah Kakung senantiasa istiqomah mengamalkan berbagai ibadah
yang diajarkan oleh guru spiritualnya. Seperti qiyamul lail yang
harus dilakukan di tempat terbuka tanpa atap, membaca yasin fadhilah sebanyak
3x tiap usai sholat fardhu, berbagai wirid dan tilawah al-Qur’an. Padahal terkadang urusann perkebunan baru selesai pada pukul 02.00
dini hari. Apalagi saat musim bakar tembakau tiba. Ia harus terus mengontrol agar tidak
terjadi kebakaran pada gudang penyimpanan tembakau kering yang terbuat dari bambu dan rumbia. Tidak
satupun amalan yaumiyah-nya alpha.
Panjang sekali
perjuangan hidup dan kuat sekali komitmen yang digenggamnya. prinsipnya adalah wa
maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun, sehingga semua kegiatannya
murni dilakukan sebagai wujud menyembahnya kepada Allah. Bekerjanya, menikah,
mendidik anak, membangun masjid, mendirikan PAUD, TK dan TPQ gratis (kualitas
dan sarana prasaranya sangat bagus), menyediakan perlatan Rukun Kematian
(RUKEM), memberika sumbangan sebanyak 1 juta rupiah setiap terdapat tetangganya
yang meninggal, menampung kami secara gratis, dan banyak sekali kegiatan sosialnya
yang bernilai spiritual, semua murni karena mengharapkan ridho Allah. Sama sekali
tidak mengarapkan balasan dari manusia. Karena itulah, masjid dan lembaga
pendidikannya diberi nama ar-Ridho. Rumah yang kami tempati pun diperluas
hingga halaman belakang yang saat ini cukup menampung hingga 60 anak, akhirnya
diberi nama Rumah Tahfidzul Qur’an al-Ridho. Kami mengetahui semuanya dari
ustadz dan para tetangga, bukan penuturan beliau.
Sebagai kawula muda
dan thaalibul ‘ilm, kami sangat malu kepada beliau yang hingga berumur 77 tahun
tetap istiqomah berpuasa, hampir setiap hari kecuali bila dirasa kurang sehat.
Istiqomah menghatamkan al-Qur’an setiap 2 hari sekali, yang berarti 15 Juz sehari,
istiqamah qiyamul lail dan sholat jamaah serta istiqamah dalam setiap kebaikan,
tak pernah beliau ingkar janji, apa yang dikatakan selalu ditepati, karena
beliau berpegang pada fal yaquulu qoulan sadida. Penghasilan pasif
beliau bisa ratusan juta perbulan, dari ladang-ladang dan sawah miliknya, tak
pernah membuatnya lalai. Sedangkan kami yang disebut hafidzul Qur’an? bisa
murojaah 1 juz sehari sudah untung.
Dialah Mbah Kakung
kami, yang bila ditulis tentangnya tidak akan pernah selesai. Senantisa
menerangi sekitarnya, sesuai dengan wajahnya yang selalu berbinar. Akhirnya
kami mengetahui, kenapa ustadz menyusun pertemuan usai sholat dhuhur pada waktu
itu, karena itulah waktu senggang yang dimilikinya, sebelum kembali berdzikir dan tilawah
al-Qur’an. Terimaksih banyak Mbah Kakung, sehat selalu gih, semoga Allah
meridhoi setiap usahamu. Amin.
*
dari kata tabarruk yang artinya mengambil barokah. Istilah tabarrukan
biasa digunakan dalam tradisi santri di Jawa untuk nyantri dalam rentan waktu
sebentar, selain untuk ngalap barokah Kyai, juga untuk memperdalam suatu
disiplin ilmu, tidak secara komprehensif.