Sabtu, 25 Mei 2019

Mbah Kakung



Mbah Kakung, panggilan bagi kakek dalam tradisi Jawa. Ini bukan tentang Mbah Kakung biasa, karena sebagaimana seharusnya kakek yang merupakan bapak dari ibu atau  ayah, aku baru mengenalnya setelah berumur 21 tahun, tanpa ikatan darah.
Siang itu, minggu pertama Ramadhan 1437 Hijriah, aku menemuinya di sebuah masjid yang dua minggu setelahnya baru aku ketahui bahwa Mbah Kakung itulah yang membangunnya. Pertemuan terencana, Ustadz kami, staf khusus tahfidz Qur'an di kampus yang mengatur dan menjadi perantara pertemuan kami. Dan setelah pertemuan itu, barulah Aku tahu kalau Ustadz merupakan cucu dari sepupu si Mbah Kakung.
Terik matahari sangat menyilaukan, membuat alisku hampir menyatu, begitupun dengan Yuni, teman yang memboncengku dengan motor matic putihnya dari kampus hingga pelataran Masjid ini. Aku lihat, ustadz kami juga sama, berusaha menghalau cahaya berlebih dengan alisnya, menuju teras masjid yang terlihat lebih sejuk.
Ustadz meminta kami menunggu di teras, kami segera duduk. Aku mengedarkan pandangan ke dalam masjid, jamaah sudah bubar, sisa dua orang laki-laki di dalam. Di shaf ke dua, lurus dengan tempat imam, terdapat sosok berpostur pendek dan gemuk, tampak agak tambun, sepertinya sudah tua, bagian rambut yang tidak tertutup kopyah tampak putih, senada dengan kopyah dan kokonya, sarungnya berwarna denim, juga sedang sholat. Sisanya, seorang dengan hem coklat muda dan kopyah hitam, dekat dengan sisi pintu selatan, posisi duduknya yang agak mencong ke utara, membuatku dapat melihat dengan jelas wajah legam terbakar matahari, seorang pekerja keras, sedang merapalkan doa-doa penuh khidmat.
Dua menit, Ustadz keluar diikuti oleh sosok tambun itu, dapat aku tatap dengan jelas wajahnya yang berbinar, kumisnya juga sudah memutih, senyumnya merekah sambil mengucapkan salam, kami balas dengan salam di mulut dan tangan, mencium punggung tangannya yang terulur.
“Gimana? Ini kah yang mau tinggal? Semoga cocok ya, semalam sudah Mbah isi rumahnya, nanti kalau kurang dan butuh apa-apa, tinggal bilang.” Tanpa basa-basi, langsung inti percakapan.
Sekitar dua minggu sebelum pertemuan teras Masjid itu, aku, Yuni dan Mbak Farrah bingung memilih tempat untuk tabarrukan* sebagaimana kebiasaan kami saat libur panjang. Rencananya usai UAS sekitar 13 atau 14 Ramadhan kami akan nyantri kembali. Sudah ada 2 opsi pesantren sebenarnya, tapi kami rasa nanggung, karena liburan pesantren biasa dilaksanakan pada 21 atau 23 Ramadhan, sementara planning kami bisa nyantri sampai 28 Ramadhan. Pesantren kedua memberikan kesanggupan untuk menerima kami dan tetap menjalankan kegiatan sebagaimana biasanya hingga 27 Ramadhan. Akhirnya deal, tabarrukan di pesantren kedua. Hingga lima hari sebelum pertemuan dengan Mbah perawakan tambun berwajah berbinar ini, Ustadz menawarkan bahwa saudaranya memiliki rumah yang bisa kami tempati dengan kapasitas 12 orang. Kegiatan tabarrukan bisa tetap dilaksanakan bersama Ustadz, melanjutkan kegiatan mengaji selama di kampus. Jarak rumah ustadz dengan tempat kami akan tinggal hanya sekitar 200 meter. Dan terik diminggu pertama Ramadhan itupun menjadi awal pertemuan kami dengan Mbah Kakung.
Dua minggu lebih satu hari, kami tinggal di salah satu rumahnya yang tidak ditempati. Sekitar 50 meter ke arah timur Masjid tempat kami bertemu. Dari Ustadz kami tau bahwa Rumah itu dibeli secara patungan oleh si Mbah dengan salah satu dari 6 putranya, saat pimiliknya pindah dinas. Semakin hari, melalui penuturan ustadz dan kadang Mbah Kakung sendiri, membuat kami terperangah akan kehidupan Si Mbah. Rasanya campur aduk bisa mengenalnya, senang, sedih, cemas dan antusias. Senang, karena bisa dekat bahkan dianggap cucu olehnya, terbukti beliau selalu menyebut dirinya Mbah di depan kami. Sedih, Karena umurnya sudah 77 tahun, kami ingin lebih lama bisa bersamanya. Cemas, sangat cemas dan khawatir, dapatkah kami menjadi sosok seperti dia nantinya? Bila diumur 21 belum memulai start apapun untuk kehidupan dunia, apalagi untuk akhirat. Dan antusias, kami menjadi lebih antusias dalam menjalani hidup, minimal agar  bisa sepertinya, Bahkan kalau bisa agar lebih baik lagi.
Mbah Kakung tinggal bersama anak bungsunya Mbak Hafni yang menderita tunagrahita, dan seorang menantunya, kami memanggilnya Pak Rahmat, suami Mbak Hafni. Kelima anaknya yang lain berada diluar kota, sudah pada jadi orang dan berkeluarga. Aku lupa urutannya, Ada yang jadi dokter spesialis di salah satu rumah sakit Surabaya, dosen di ITS Surabaya, bagian dari menteri komunikasi di Jakarta, Sekretaris Daerah provinsi Jawa Timur berdomisili di Bangkalan Madura, dan staf ahli di salah satu perusahan swasta pengelola hasil pertanian di Jember. Yang terakhir menurut Mbah tak lagi dianggapnya sebagai anak, karena suka telat mendirikan sholat.
Istri yang menemaninya selama 48 tahun telah berpulang delapan tahun lalu, awal 2009. Menurut penuturan salah satu tetangga, yang bercerita usai jamaah subuh di Masjid setelah seminggu kami tinggal, perantara meninggalnya istri Mbah karena diabetes. Perempuan itu berusia 14 tahun saat dinikahi Mbah Kung, sementara Mbah Kung 20 Tahun. Dalam salah satu cerita Mbah di suatu malam, sebelum dinikahi, Istrinya adalah penganut aliran kepercayaan, tidurnya hanya 2 jam sehari semalam. Tapi ia adalah tipe pembelajar cepat, sambil mengantar anak-anaknya ke Sekolah Dasar Islam favorit di masanya, istrinya turut belajar agama dan belajar membaca al-Qur’an, Saat gelar ibu haji di disandangnya, ia benar-benar telah menjadi perempuan Muslim yang taat. Salah satu keponakan Mbah Kakung bercerita, bahwa alarhumah sangat disiplin mendidik anak-anaknya hingga bisa sukses seperti sekarang ini. Belakangan Mbah Kakung bercerita bahwa istrinya anak dari mantan kepala sekolah saat dia SD dulu yang pernah menamparnya karena tidak membawa tugas kesenian. Menurut Mbah, bukannya tidak mau mengerjakan tugas, tapi memang  saat itu tidak ada biaya yang dapat digunakan untuk menghasilkan sebuah karya. Sejak kejadian itu Mbah Kakung berhenti sekolah.
 Dua tahun sebelum menikah, Mbah Kung diminta untuk bekerja di PTPN tembakau dekat dengan rumahnya. Ia bersikeras menolak, karena prinsip hidupnya adalah tak mau mencari kerja, hanya mencari ridho Allah. Karena utusan PTPN itu memaksa, dengan setengah hati ia menerima. Tiba di suatu masa, terhitung 2 tahun dia bekerja, diamanahilah untukk mengelola sepetak tanah, saat terdapat kunjungan menteri pertanian di PTPN, takjublah sang menteri, dari sekian petak tanah percobaan, tembakau Mbah Kakung lah yang tampak sangat subur dan hijau.
“Sang menteri memanggil Mbah, padahal Mbah bersembunyi, karena malu. Mbah saat itu sangat pemalu. Kemudian kemudian ia memerintakan kepada kepala perkebunan agar mengangkat Mbah sebagai mandor. Padahal ijazah SD pun saat itu tidak punya. Kalau ndak salah, syarat menjadi mandor harus lulus SMA pada waktu itu. Karena Pak menteri yang meminta, tak ada yang berani menolak meskipun Mbah tidak memenuhi kualifikasi. Hee.. Ini semua karena Allah, kita harus memenuhi apa yang Allah perintahkan, maka tanpa dimintapun Allah akan memberi. Harus yakin sama Allah.” Tuturnya, pada malam ke 28 Ramdhan, saat kami berpamitan akan pulang esok harinya dan berjanji akan kembali lagi pada 13 Syawal.
Dalam kesibukannya sebagai mandor, Mbah Kakung senantiasa istiqomah mengamalkan berbagai ibadah yang diajarkan oleh guru spiritualnya. Seperti qiyamul lail yang harus dilakukan di tempat terbuka tanpa atap, membaca yasin fadhilah sebanyak 3x tiap usai sholat fardhu, berbagai wirid dan tilawah al-Qur’an. Padahal  terkadang urusann perkebunan baru selesai pada pukul 02.00 dini hari. Apalagi saat musim bakar tembakau tiba. Ia harus terus mengontrol agar tidak terjadi kebakaran pada gudang penyimpanan tembakau kering yang terbuat dari bambu dan rumbia. Tidak satupun amalan yaumiyah-nya alpha.
Panjang sekali perjuangan hidup dan kuat sekali komitmen yang digenggamnya. prinsipnya adalah wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun, sehingga semua kegiatannya murni dilakukan sebagai wujud menyembahnya kepada Allah. Bekerjanya, menikah, mendidik anak, membangun masjid, mendirikan PAUD, TK dan TPQ gratis (kualitas dan sarana prasaranya sangat bagus), menyediakan perlatan Rukun Kematian (RUKEM), memberika sumbangan sebanyak 1 juta rupiah setiap terdapat tetangganya yang meninggal, menampung kami secara gratis, dan banyak sekali kegiatan sosialnya yang bernilai spiritual, semua murni karena mengharapkan ridho Allah. Sama sekali tidak mengarapkan balasan dari manusia. Karena itulah, masjid dan lembaga pendidikannya diberi nama ar-Ridho. Rumah yang kami tempati pun diperluas hingga halaman belakang yang saat ini cukup menampung hingga 60 anak, akhirnya diberi nama Rumah Tahfidzul Qur’an al-Ridho. Kami mengetahui semuanya dari ustadz dan para tetangga, bukan penuturan beliau.
Sebagai kawula muda dan thaalibul ‘ilm, kami sangat malu kepada beliau yang hingga berumur 77 tahun tetap istiqomah berpuasa, hampir setiap hari kecuali bila dirasa kurang sehat. Istiqomah menghatamkan al-Qur’an setiap 2 hari sekali, yang berarti 15 Juz sehari, istiqamah qiyamul lail dan sholat jamaah serta istiqamah dalam setiap kebaikan, tak pernah beliau ingkar janji, apa yang dikatakan selalu ditepati, karena beliau berpegang pada fal yaquulu qoulan sadida. Penghasilan pasif beliau bisa ratusan juta perbulan, dari ladang-ladang dan sawah miliknya, tak pernah membuatnya lalai. Sedangkan kami yang disebut hafidzul Qur’an? bisa murojaah 1 juz sehari sudah untung.
Dialah Mbah Kakung kami, yang bila ditulis tentangnya tidak akan pernah selesai. Senantisa menerangi sekitarnya, sesuai dengan wajahnya yang selalu berbinar. Akhirnya kami mengetahui, kenapa ustadz menyusun pertemuan usai sholat dhuhur pada waktu itu, karena itulah waktu senggang yang dimilikinya, sebelum kembali berdzikir dan tilawah al-Qur’an. Terimaksih banyak Mbah Kakung, sehat selalu gih, semoga Allah meridhoi setiap usahamu. Amin.


* dari kata tabarruk yang artinya mengambil barokah. Istilah tabarrukan biasa digunakan dalam tradisi santri di Jawa untuk nyantri dalam rentan waktu sebentar, selain untuk ngalap barokah Kyai, juga untuk memperdalam suatu disiplin ilmu, tidak secara komprehensif.